...Bismillahirrahmaanirrahim...
Ya Allah jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada
seseorang yang melabuhkan cintanya padaMu, agar
bertambah kekuatanku untuk menyintaiMu
Ya Muhaimin, jika aku jatuh hati,izinkanlah aku
menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut padaMu
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu...
Ya Rabbana ,jika aku jatuh hati jagalah hatiku
padanya agar tidak berpaling daripada hatiMu.....
Ya Rabbul Izzati ,jika aku rindu ,rindukanlah aku
pada seseorang yang merindui syahid di jalan Mu....
Ya Allah ,jika aku menikmati cinta kekasihMu
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya
bermunajat di sepertiga malam terakhirMu
Ya Allah ,jika aku jatuh hati pada kekasihMu jangan
biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan
panjang menyeru manusia kepadaMu....
Ya Allah jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan
aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya
kepadaMu...
Aminnnn..
-musafir perjuangan-
Saturday, June 28, 2003
Delapan Dirham
Rasulullah pagi itu sibuk memperhatikan bajunya dengan cermat. baju satu-satunya dan itupun ternyata sudah usang. baju yang setia menutup aurat beliau. meringankan tubuh beliau dari terik matahari dan dinginnya udara. Baju yang tidak pernah beristirahat.
Tetapi beliau tak mempunyai uang sepeser pun. Dengan apa beliau harus membeli baju? Padahal baju yang ada sudah waktunya diganti. Rasulullah sebenarnya dapat saja menjadi kaya mendadak, bahkan terkaya di dunia ini. Tapi sayang, beliau tak mau mempergunakan kemudahan itu. Jika beliau mau, Allah dalam sekejap bisa mengubah gunung dan pasir menjadi butir-butir emas yang berharga. Beliau tak sudi berbuat demikian karena kasihnya kepada para fakir yang papa. siapakah yang akan menjadi teladan jika bukan beliau..? Contoh untuk menahan derita, menahan lapar dan dahaga, menahan segala coba dan uji Allah dengan kesabaran. Selalu mensyukuri nikmat Allah berapa pun
besarnya. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyertai umatnya dalam menjalani iradat yang telah ditentukan Allah. Yaitu kehidupan dalam jurang kedukaan dan kemiskinan. Siapa pula yang harus menghibur mereka agar selalu bersabar dan rela dengan yang ada selain beliau? Juga siapa pula yang harus menanamkan keyakinan akan pahala Allah kelak di akhirat jika bukan beliau? Yah,...hanya beliaulah yang mampu menjalankan berbagai hal diatas. benar,...baliaulah satu-satunya manusia yang mendapatkan amanat dari Allah untuk semua umat manusia. Tugas yang lebih murni dan mulia daripada intan berlian serta butiran emas yang lain. Lebih halus dari sutera serta lebih indah dari segala keindahan yang dikenal manusia di dunia ini. lebih megah dari segala kedudukan dan derajad kehidupan manusia yang katanya sudah
megah.
"Semua itu hanyalah merupakan kesenangan dunia sedang di sisi Allah yang paling baik dan sebaik-baik tempat kembali" Perjuangan itu tidak mudah. bahkan sangat berat bagi beliau. Menegakkan yang hak hanya dapat dicapai dengan penuh keimanan dan kekuatan. sabar dalam menghadapi setiap malapetaka yang menimpa, bersyukur yang dilakukan dengan hati bersih. dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam duka maupun suka, bersyukur dan keimanan harus selalu menyertai. Itulah pokok risalah yang dibawa Rasulullah saw.
Allah Maha Bijaksana, tidak akan membiarkan hamba-Nya terkasih kebingungan. Rasulullah diberinya rezeki sebanyak delapan dirham. Bergegas beliau melangkah ke pasar. Tentunya kita maklum. uang sekian itu dapat dibelikan apa. Apakah cukup untuk membeli makan, minum, serta pakaian penutup badan? Oleh sebab itu, bergembiralah hai para fakir dan miskin! Nabi kita, Muhammad saw telah memberikan contoh begitu jelas. Nabi yang kita cintai, hamba kesayangan Allah pergi ke pasar dengan uang sedikit seperti yang kita miliki. Tetapi nabi kita ini, hamba Allah yang di bumi bernama Ahmad, sedang dari langit bernama Muhammad dengan ridha pergi ke pasar berbekal uang delapan dirham untuk berbelanja. Manusia penuh nur dan inayah Allah yang dilahirkan di makkah. meskipun beliau miskin, beliau senang sekali hidup. beliau belum ingin mati meski kemiskinan menjerat setiap hari. Di tengah perjalanan menuju pasar, beliau menemukan seorang wanita yang menangis. Ternyata wanita yang kehilangan uang. Segera beliau memberikan uangnya sebanyak dua dirham. Beliau berhenti sejenak untuk menenangkan
wanita itu. Rasulullah bergegas menuju ke pasar yang semakin ramai. Sepanjang lorong pasar banyak sekali masyarakat yang menegur beliau dengan hormat. Selalu menjawab dan memberikan salam yang mengingatkan akan kebesaran Allah semata. Beliau langsung menuju tempat di mana ada barang yang diperlukannya. Dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. beliau segera pulang. Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang tua yang telanjang. Orang tersebut dengan iba memohon sepotong baju untuk dipakainya. Rasulullah yang memang
pengasih itu tidak tahan melihat. Langsung diberikannya baju yang baru dibeli. Beliau kembali ke pasar utnuk membeli baju lagi seharga dua dirham. Tentu saja lebih kasar dan jelek kualitasnya daripada yang empat dirham. dengan gembira beliau pulang membawa bajunya.
Langkahnya dipercepat karena sengatan matahari yang semakin terik. Juga angin malam yang telah mulai berhembus pelan-pelan. Beliau tidak ingin kemalaman di jalan. Tak lama beliau melangkah ke luar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi. Wanita itu kelihatan bingung dan sangat gelisah. Rasulullah saw mendekat dan bertanya mengapa. Wanita itu ternyata ketakutan untuk pulang. Dia telah terlambat dari batas waktu, dan takut dimarahi majikannya jika pulang nanti. Rasulullah saw langsung menyatakan akan mengantarkannya.
Wanita itu berjalan yang diikuti Rasulullah saw dari belakang. Hatinya tenang karena Rasulullah saw pasti akan melindungi dirinya. Dia yakin
majikannya akan memaafkan, karena kepulangan yang diantarkan oleh manusia paling mulia di dunia ini. Bahkan mungkin akan berterima kasih karena pulang membawa kebaikan bersama dengan kedatangan nabi dan rasul mereka. Mereka terus berjalan hingga sampai ke perkampungan kaum Anshari. Kebetulan saat itu yang ada hanyalah para isteri mereka.
"Assalamu'alaikum warahmatullah", sapa Rasulullah saw keras. Mereka semuanya diam tak menjawab. Padahal mereka mendengar. Hati mereka diliputi kebahagiaan karena kedatangan Nabi. Mereka menganggap salam Rasulullah saw sebagai berkah dan seperti lebaran saja. Mereka masih ingin mendengarnya lagi. Ketika tak terdengar jawaban, Rasulullah saw memberi salam lagi. Tetap tak terdengar jawaban. Rasulullah saw mengulang untuk yang ketiga kali dengan suara lantang, Assalamu'alaikum warahmatullah. Serentak mereka menjawab.
Rasulullah sangat heran dengan semua itu. Beliau menanyakan pada mereka apa sebabnya. Mereka mengatakan, " Tidak ya Rasulullah. Kami sudah mendengar sejak tadi. Kami memang sengaja, kami ingin mendapatkan salam lebih banyak". Rasulullah melanjutkan, "Pembantumu ini terlambat pulang dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerimanya". Ucapan ini sangat mengejutkan mereka. Kasih sayang Nabi begitu murni, budi pekerti yang utama, yang indah tampak dihadapan mereka. Beliau
menempuh perjalanan begitu panjang dan jauh hanya untuk mengantarkan seorang budak yang takut dimarahi majikannya. Lagipula hanya karena terlambat pulang. Bahkan memohonkan maaf baginya pula. Sehingga karena harunya, mereka berkata, "Kami memaafkan dan bahkan membebaskannya. Kedatangannya kemari bersama anda karena untuk mengharap ridha Allah semata". Budak itu tak terhingga rasa terima kasihnya. Bersyukur atas karunia Allah swt dan kebebasannya karena dari Rasulullah saw.
Rasulullah saw pulang dengan hati gembira. Telah bebas satu perbudakan dengan mengharap ridha Allah swt sepenuhnya. Beliau juga tak lupa mendoakan para wanita itu agar mendapatkan berkah dari Allah swt. Semoga semua harta dan turunan serta semoga selalu tetap dalam keadaan iman dan islam. Beliau sibuk memikirkan peristiwa sehari tadi. Hari yang penuh berkah dan karunia Allah swt semata. Akhirnya beliau berujar dengan, "Belum pernah kutemui berkah angka delapan sebagaimana hari ini. Delapan dirham yang mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan serta memerdekakan seorang budak". Bagi seseorang muslim yang memberikan pakaian
pada saudara sesama muslim, Allah akan memelihara selama pakaian itu masih melekat.
Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Rasulullah pagi itu sibuk memperhatikan bajunya dengan cermat. baju satu-satunya dan itupun ternyata sudah usang. baju yang setia menutup aurat beliau. meringankan tubuh beliau dari terik matahari dan dinginnya udara. Baju yang tidak pernah beristirahat.
Tetapi beliau tak mempunyai uang sepeser pun. Dengan apa beliau harus membeli baju? Padahal baju yang ada sudah waktunya diganti. Rasulullah sebenarnya dapat saja menjadi kaya mendadak, bahkan terkaya di dunia ini. Tapi sayang, beliau tak mau mempergunakan kemudahan itu. Jika beliau mau, Allah dalam sekejap bisa mengubah gunung dan pasir menjadi butir-butir emas yang berharga. Beliau tak sudi berbuat demikian karena kasihnya kepada para fakir yang papa. siapakah yang akan menjadi teladan jika bukan beliau..? Contoh untuk menahan derita, menahan lapar dan dahaga, menahan segala coba dan uji Allah dengan kesabaran. Selalu mensyukuri nikmat Allah berapa pun
besarnya. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyertai umatnya dalam menjalani iradat yang telah ditentukan Allah. Yaitu kehidupan dalam jurang kedukaan dan kemiskinan. Siapa pula yang harus menghibur mereka agar selalu bersabar dan rela dengan yang ada selain beliau? Juga siapa pula yang harus menanamkan keyakinan akan pahala Allah kelak di akhirat jika bukan beliau? Yah,...hanya beliaulah yang mampu menjalankan berbagai hal diatas. benar,...baliaulah satu-satunya manusia yang mendapatkan amanat dari Allah untuk semua umat manusia. Tugas yang lebih murni dan mulia daripada intan berlian serta butiran emas yang lain. Lebih halus dari sutera serta lebih indah dari segala keindahan yang dikenal manusia di dunia ini. lebih megah dari segala kedudukan dan derajad kehidupan manusia yang katanya sudah
megah.
"Semua itu hanyalah merupakan kesenangan dunia sedang di sisi Allah yang paling baik dan sebaik-baik tempat kembali" Perjuangan itu tidak mudah. bahkan sangat berat bagi beliau. Menegakkan yang hak hanya dapat dicapai dengan penuh keimanan dan kekuatan. sabar dalam menghadapi setiap malapetaka yang menimpa, bersyukur yang dilakukan dengan hati bersih. dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam duka maupun suka, bersyukur dan keimanan harus selalu menyertai. Itulah pokok risalah yang dibawa Rasulullah saw.
Allah Maha Bijaksana, tidak akan membiarkan hamba-Nya terkasih kebingungan. Rasulullah diberinya rezeki sebanyak delapan dirham. Bergegas beliau melangkah ke pasar. Tentunya kita maklum. uang sekian itu dapat dibelikan apa. Apakah cukup untuk membeli makan, minum, serta pakaian penutup badan? Oleh sebab itu, bergembiralah hai para fakir dan miskin! Nabi kita, Muhammad saw telah memberikan contoh begitu jelas. Nabi yang kita cintai, hamba kesayangan Allah pergi ke pasar dengan uang sedikit seperti yang kita miliki. Tetapi nabi kita ini, hamba Allah yang di bumi bernama Ahmad, sedang dari langit bernama Muhammad dengan ridha pergi ke pasar berbekal uang delapan dirham untuk berbelanja. Manusia penuh nur dan inayah Allah yang dilahirkan di makkah. meskipun beliau miskin, beliau senang sekali hidup. beliau belum ingin mati meski kemiskinan menjerat setiap hari. Di tengah perjalanan menuju pasar, beliau menemukan seorang wanita yang menangis. Ternyata wanita yang kehilangan uang. Segera beliau memberikan uangnya sebanyak dua dirham. Beliau berhenti sejenak untuk menenangkan
wanita itu. Rasulullah bergegas menuju ke pasar yang semakin ramai. Sepanjang lorong pasar banyak sekali masyarakat yang menegur beliau dengan hormat. Selalu menjawab dan memberikan salam yang mengingatkan akan kebesaran Allah semata. Beliau langsung menuju tempat di mana ada barang yang diperlukannya. Dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. beliau segera pulang. Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang tua yang telanjang. Orang tersebut dengan iba memohon sepotong baju untuk dipakainya. Rasulullah yang memang
pengasih itu tidak tahan melihat. Langsung diberikannya baju yang baru dibeli. Beliau kembali ke pasar utnuk membeli baju lagi seharga dua dirham. Tentu saja lebih kasar dan jelek kualitasnya daripada yang empat dirham. dengan gembira beliau pulang membawa bajunya.
Langkahnya dipercepat karena sengatan matahari yang semakin terik. Juga angin malam yang telah mulai berhembus pelan-pelan. Beliau tidak ingin kemalaman di jalan. Tak lama beliau melangkah ke luar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi. Wanita itu kelihatan bingung dan sangat gelisah. Rasulullah saw mendekat dan bertanya mengapa. Wanita itu ternyata ketakutan untuk pulang. Dia telah terlambat dari batas waktu, dan takut dimarahi majikannya jika pulang nanti. Rasulullah saw langsung menyatakan akan mengantarkannya.
Wanita itu berjalan yang diikuti Rasulullah saw dari belakang. Hatinya tenang karena Rasulullah saw pasti akan melindungi dirinya. Dia yakin
majikannya akan memaafkan, karena kepulangan yang diantarkan oleh manusia paling mulia di dunia ini. Bahkan mungkin akan berterima kasih karena pulang membawa kebaikan bersama dengan kedatangan nabi dan rasul mereka. Mereka terus berjalan hingga sampai ke perkampungan kaum Anshari. Kebetulan saat itu yang ada hanyalah para isteri mereka.
"Assalamu'alaikum warahmatullah", sapa Rasulullah saw keras. Mereka semuanya diam tak menjawab. Padahal mereka mendengar. Hati mereka diliputi kebahagiaan karena kedatangan Nabi. Mereka menganggap salam Rasulullah saw sebagai berkah dan seperti lebaran saja. Mereka masih ingin mendengarnya lagi. Ketika tak terdengar jawaban, Rasulullah saw memberi salam lagi. Tetap tak terdengar jawaban. Rasulullah saw mengulang untuk yang ketiga kali dengan suara lantang, Assalamu'alaikum warahmatullah. Serentak mereka menjawab.
Rasulullah sangat heran dengan semua itu. Beliau menanyakan pada mereka apa sebabnya. Mereka mengatakan, " Tidak ya Rasulullah. Kami sudah mendengar sejak tadi. Kami memang sengaja, kami ingin mendapatkan salam lebih banyak". Rasulullah melanjutkan, "Pembantumu ini terlambat pulang dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerimanya". Ucapan ini sangat mengejutkan mereka. Kasih sayang Nabi begitu murni, budi pekerti yang utama, yang indah tampak dihadapan mereka. Beliau
menempuh perjalanan begitu panjang dan jauh hanya untuk mengantarkan seorang budak yang takut dimarahi majikannya. Lagipula hanya karena terlambat pulang. Bahkan memohonkan maaf baginya pula. Sehingga karena harunya, mereka berkata, "Kami memaafkan dan bahkan membebaskannya. Kedatangannya kemari bersama anda karena untuk mengharap ridha Allah semata". Budak itu tak terhingga rasa terima kasihnya. Bersyukur atas karunia Allah swt dan kebebasannya karena dari Rasulullah saw.
Rasulullah saw pulang dengan hati gembira. Telah bebas satu perbudakan dengan mengharap ridha Allah swt sepenuhnya. Beliau juga tak lupa mendoakan para wanita itu agar mendapatkan berkah dari Allah swt. Semoga semua harta dan turunan serta semoga selalu tetap dalam keadaan iman dan islam. Beliau sibuk memikirkan peristiwa sehari tadi. Hari yang penuh berkah dan karunia Allah swt semata. Akhirnya beliau berujar dengan, "Belum pernah kutemui berkah angka delapan sebagaimana hari ini. Delapan dirham yang mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan serta memerdekakan seorang budak". Bagi seseorang muslim yang memberikan pakaian
pada saudara sesama muslim, Allah akan memelihara selama pakaian itu masih melekat.
Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Thursday, June 26, 2003
Believing in Yourself- by Mary Ellen Joseph
Standing for what you believe in
Regardless of the odds against you
And the pressure that tears at your resistance
Means courage
Keeping a smile on your face
When inside you feel like dying
For the sake of supporting others
Means strength
Stopping at nothing
And doing what in your heart
You know is right
Means determination
Doing more than is expected
To make another’s life a little more bearable
Without uttering a single complaint
Means compassion
Helping a friend in need
No matter the time or effort
To the best of your ability
Means loyalty
Giving more than you have
And expecting nothing
But gratitude in return
Means selflessness
Holding your head high
And being the best you know you can be
When life seems to fall apart at your feet
And facing each difficulty with
The confidence that time will bring
You better tomorrows
And never giving up
Means Believing in Yourself …
:: www.bluemountain.com ::
Standing for what you believe in
Regardless of the odds against you
And the pressure that tears at your resistance
Means courage
Keeping a smile on your face
When inside you feel like dying
For the sake of supporting others
Means strength
Stopping at nothing
And doing what in your heart
You know is right
Means determination
Doing more than is expected
To make another’s life a little more bearable
Without uttering a single complaint
Means compassion
Helping a friend in need
No matter the time or effort
To the best of your ability
Means loyalty
Giving more than you have
And expecting nothing
But gratitude in return
Means selflessness
Holding your head high
And being the best you know you can be
When life seems to fall apart at your feet
And facing each difficulty with
The confidence that time will bring
You better tomorrows
And never giving up
Means Believing in Yourself …
:: www.bluemountain.com ::
Tuesday, June 17, 2003
Menanti Kesempurnaan Sebelum Berdakwah?
Antara kesilapan yang sering berlaku dalam konteks dakwah ialah menanti kesempurnaan diri sebelum melaksanakan dakwah. Dengan kefahaman ini seseorang yang mampu mencegah kemungkaran tidak melakukannya kerana merasakan amalannya belum cukup mantap dan masih terdapat banyak kelemahan pada dirinya.
Berkaitan dengan isu ini Imam Said bin Jubair berkata, “Jika seseorang tidak mahu mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran sehingga keadaannya menjadi sempurna tidak ada sesiapapun yang akan mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran.”
Imam Malik amat bersetuju dengan kenyataan Imam Said bin Jubair ini dan sebagai tanda sokongan beliau menambah, “Dan siapakah antara kita yang lengkap dan sempurna?”
Imam Al-Hasan pula berkata, “Siapa antara kita yang telah melaksanakan kesemua perkara yang diserunya? Syaitan amat menyukai jika manusia diperdayakan dengan sikap ini sehingga akhirnya tidak ada sesiapapun yang mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran.”
Walau bagaimanapun, persiapan tidak boleh diabaikan walaupun tidak sampai ke tahap kesempurnaan, kerana dakwah ialah medan jihad dan ijtihad dan ia tidak boleh dilakukan secara semberono. Perancangan serta persiapan perlu dilakukan dari masa ke semasa demi untuk menjamin kejayaan dakwah. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan, berdakwah memerlukan persiapan dan adab dan ia terbahagi kepada tiga iaitu ilmu, warak dan baik akhlak. Beliau berkata, “Berkaitan dengan ilmu, seseorang pendakwah perlu mengetahui suasana dakwahnya, batas-batasnya, tempat berlakunya kemungkaran serta penghalang-penghalangnya supaya dakwahnya berjalan di atas landasan agama. Warak menuntut seseorang pendakwah menjauhi perbuatan-perbuatan salah yang diketahuinya. Berhubung dengan akhlak yang baik, seseorang pendakwah hendaklah berdakwah dengan lemah lembut dan kasih sayang.... Dengan tiga sifat ini dakwah menjadi amalan yang mendekatkan seseorang kepada Allah. Tanpa ketiga-tiganya kemungkaran tidak akan tertolak malah kadangkala dakwah bertukar menjadi kemungkaran kerana melampaui batas-batas agama.”
*(Untuk lebih terperinci sila dapatkan buku-buku Dr. Danial bin Zainal Abidin bertajuk: "Empayar Minda Muslim" dan "Bahan Berdakwah Untuk Remaja Moden."
Antara kesilapan yang sering berlaku dalam konteks dakwah ialah menanti kesempurnaan diri sebelum melaksanakan dakwah. Dengan kefahaman ini seseorang yang mampu mencegah kemungkaran tidak melakukannya kerana merasakan amalannya belum cukup mantap dan masih terdapat banyak kelemahan pada dirinya.
Berkaitan dengan isu ini Imam Said bin Jubair berkata, “Jika seseorang tidak mahu mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran sehingga keadaannya menjadi sempurna tidak ada sesiapapun yang akan mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran.”
Imam Malik amat bersetuju dengan kenyataan Imam Said bin Jubair ini dan sebagai tanda sokongan beliau menambah, “Dan siapakah antara kita yang lengkap dan sempurna?”
Imam Al-Hasan pula berkata, “Siapa antara kita yang telah melaksanakan kesemua perkara yang diserunya? Syaitan amat menyukai jika manusia diperdayakan dengan sikap ini sehingga akhirnya tidak ada sesiapapun yang mengajak kepada makruf dan mencegah kemungkaran.”
Walau bagaimanapun, persiapan tidak boleh diabaikan walaupun tidak sampai ke tahap kesempurnaan, kerana dakwah ialah medan jihad dan ijtihad dan ia tidak boleh dilakukan secara semberono. Perancangan serta persiapan perlu dilakukan dari masa ke semasa demi untuk menjamin kejayaan dakwah. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan, berdakwah memerlukan persiapan dan adab dan ia terbahagi kepada tiga iaitu ilmu, warak dan baik akhlak. Beliau berkata, “Berkaitan dengan ilmu, seseorang pendakwah perlu mengetahui suasana dakwahnya, batas-batasnya, tempat berlakunya kemungkaran serta penghalang-penghalangnya supaya dakwahnya berjalan di atas landasan agama. Warak menuntut seseorang pendakwah menjauhi perbuatan-perbuatan salah yang diketahuinya. Berhubung dengan akhlak yang baik, seseorang pendakwah hendaklah berdakwah dengan lemah lembut dan kasih sayang.... Dengan tiga sifat ini dakwah menjadi amalan yang mendekatkan seseorang kepada Allah. Tanpa ketiga-tiganya kemungkaran tidak akan tertolak malah kadangkala dakwah bertukar menjadi kemungkaran kerana melampaui batas-batas agama.”
*(Untuk lebih terperinci sila dapatkan buku-buku Dr. Danial bin Zainal Abidin bertajuk: "Empayar Minda Muslim" dan "Bahan Berdakwah Untuk Remaja Moden."
Wednesday, June 11, 2003
Bagai Belati Menghiris Hati
Sebak! Hati ini terlalu sebak. Lutut ini terasa lumpuh untuk menanggung beban yang teramat berat. Tak mampu lagi dipikul oleh bahuku, apatah lagi di usia yang telah agak banyak ini. Kalaulah aku tahu beginilah hatinya, sumpah aku tidak lakukan semua ini. Dia tetap berwajah tenang. Tidak kelihatan walau secalit resah di kelopak mata, di pipinya malah bibirnya.
Segalanya masih sama seperti dulu. Aku leka. Leka dengan setiap kehendak hatiku. Semua tingkah laku ku tidak pernah dipersoalkan. Cuma ketika dia menurunkan tanda tangan keizinan, aku lihat ada titisan air mata gugur di pipinya. Itulah kali terakhir aku lihat dia menangis.
Dia tidak menuntut apa-apa dariku untuk dirinya selain dari mengingati aku tentang nafkah anak-anak kami yang seramai lima orang. Dia meninggalkan perkarangan mahkamah, setelah sedikit sesi kaunseling selesai. Aku mempelawa untuk menghantar pulang. Dalam senyuman yang kukira dibuat-buat, dia menolak dengan alasan, mulai dari hari ini dia akan belajar untuk mengurus hidupnya sendiri.
Aku tidak ambil pusing dengan perkara itu. Aku meneruskan niatku mengahwini Normi. Dia tidak sedikit pun membentak bila aku memintanya menggosok sepasang baju Melayu, pakaian pengantinku. Cuma di kala itu aku kehilangan senyuman manja daripadanya. Dia terus berwajah tenang dan syahdu. Sebelum aku melangkah pergi, dia masih seperti selalunya, bersalaman dan mencium tanganku sambil berpesan jaga diri baik-baik.
Aku mengahwini Normi setelah setahun menjalin persahabatan. Aku sendiri kurang pasti mengapa aku tertarik dengan Normi. Cuma yang aku sedar, aku kasihankan kepada anaknya yang sedari awal memanggil aku ayah. Mungkin juga kerana Normi cantik. Perwatakannya yang manja membuatkan ramai lelaki tergoda. Dan akulah yang paling kalah dengan kemanjaannya. Walau apa pun alasan, antara aku dan Normi memang ditakdirkan ada jodoh, kerana itu kami berkahwin. Walau ibu dan ayahku malah s audara mara menentang hebat kemahuanku. Apa kurangnya Norjannah, soal mereka.
Memang aku akui, tiada cacat celanya Nurjannah. Dia memiliki semuanya. Cantik dan seorang perempuan yang lengkap memenuhi ciri-ciri seorang isteri, ibu dan pengasuh anak-anak yang baik. Dia juga pernah menjadi rebutan pemuda sekampung. Di antara mereka, aku orang yang paling bertuah menjadi pilihan Nurjannah. Tuah itu aku sambut dengan penuh rasa kesyukuran. Dia melahirkan zuriatku seramai lima orang. Dia tidak pernah mengeluh keletihan melayan kerenah anak-anak walau aku kurang membantu. Keperluanku juga dijaga sepenuhnya. Tiada apa yang dimusykilkan di hati ini terhadapnya. Segalanya cukup sempurna.
Pendidikan agama untuk anak-anakku juga diberikan oleh Nurjannah. Semua anak-anakku khatam Al Quran di usia sepuluh tahun. Semua itu Nurjannah yang ajarkan. Anak-anakku tahu akan tanggungjawab mengerjakan sembahyang seawal usia enam tahun. Itu juga Nurjannah, isteriku juga yang ajarkan. Bukan sekadar anak-anak malah aku sendiri pun diuruskan oleh Nurjannah.
Ketika aku sedang mandi, pakaian kerjaku dari baju hinggalah ke stokin Nurjannah sudah aturkan. Aku cuma capai sahaja. Ketika aku berwuduk, Nurjannah telah siap membentang sejadah sembahyang. Setiap kali aku pulang kerja, sekurang-kurangnya, segelas minuman telah tersedia di ruang rehat.
Nurjannah tidak pernah menyusahkan aku walau menghantarnya ke pasar. Katanya, dia boleh pergi sendiri. Selama sebelas tahun hidup bersamanya, Nurjannah faham benar seleraku. Selama sebelas tahun itu juga seingatku tidak pernah sekalipun Nurjannah menyakiti hatiku.
Menjelang hari-hari perayaan, ketika rakan-rakan sepejabatku mengeluh kerana isteri di rumah minta menukar langsir baru, Nurjannah isteriku di rumah terbongkok-bongkok mencuci langsir lama. Bila kami diberi bonus tahunan oleh majikan, rakan-rakanku resah kerana isteri masing-masing turut meminta imbuhan untuk membeli seutas dua barang kemas. Tetapi isteriku Nurjannah tidak pernah meminta semua itu. Nurjannah menasihati aku agar menyimpan wang lebihan. Untuk kegunaan masa depan katanya. Akhirnya aku menggunakan wang simpanan tersebut untuk perkahwinanku dengan Normi, madu Nurjannah. Setelah berkahwin dengan Normi, barulah aku merasai segala masalah seperti yang dihadapi teman-teman sepejabatku. Apa nak buat, terlajak perahu boleh diundur, terlajak perbuatan sepahit mana sekalipun, terpaksalah ditelan jua. Apatah lagi aku dan Normi telah dikurniakan seorang cahaya mata.
Sepanjang perkahwinan dengan Normi, aku memang jarang-jarang sekali pulang ke rumah Nurjannah. Kadang-kadang seminggu sekali, kadang-kadang sebulan sekali. Itupun untuk memberi wang perbelanjaan anak-anak. Nurjannah tetap dengan sifat sabarnya. Walau aku memperlakukannya sedemikian, dia tidak pernah marah-marah apalagi mengamuk. Setiap kali kepulanganku, dia sambut tanpa secebis riak kemarahan. Bersalam dan mencium tanganku. Dia tetap menyediakan makanan kegemaranku. Cuma yang amat aku terasa, aku kehilangan senyuman mesranya.
Dia pernah meminta izinku membantu abangnya yang berniaga di kedai runcit berhampiran dengan rumah kami. Aku sedar, mungkin perbelanjaan harian dariku tidak mencukupi, tetapi aku buat-buat tidak tahu. Lagipun Nurjannah tidak pernah menyebutnya. Aku lihat tubuhnya kurus sedikit. Aku bertanya padanya apakah dia sakit atau ada apa-apa masalah. Namun dia hanya
menggeleng kepala.
Aku tidak pasti reaksi anak-anak terhadapku setelah aku berkahwin lain. Kelima-lima anakku dengan Nurjannah tidak pernah menunjukkan tanda-tanda membantah atau marah. Cuma antara kami kurang mesra, mungkin kerana sudah jarang berjumpa. Alhamdulillah aku punyai anak-anak sebaik Nurjannah.
Kelima-lima anakku sudah berjaya. Semuanya sudah menjejaki menara gading. Terasakan begitu cepat masa berlalu. Anak-anakku sudah menjangkau dewasa. Fahmi anakku yang sulung menjawat jawatan doktor, Fariza menjadi pensyarah, Fakhrul pu la pegawai di jabatan kerajaan, Farihin seorang guru dan Farina telah tamat dan majlis konvokesyennya akan diadakan dua hari
lagi.
Aku pulang hari ini, di atas permintaan Farina agar aku dan ibunya hadir di majlis bersejarah baginya. Seingat aku telah dua bulan aku tidak menjengah Nurjannah. Namun kepulanganku tetap disambut baik oleh Nurjannah. Bersalam dan mencium tanganku seperti dulu-dulu. Dia tidak pernah menunjukkan riak kurang senang padaku. Walhal sudah banyak perkara yang telah aku lukai hatinya, namun sukar untuknya menunjukkan rasa memberontak. Kesabarannya banyak mengajarku apa erti kesetiaan seorang suami. Aku akui bukan seorang suami yang adil. Adil dalam mencurahkan kasih sayang. Mungkin juga pengaruh isteri mudaku, namun aku tidak menyalahinya.
Keterlanjuranku mengahwini memberi satu perbandingan yang nyata antara keduanya. Namun kesalahan masih berpihak padaku seolah-olah tidak mampu untuk berlaku adil.!
Hari ini Nurjannah memasak lauk kegemaranku, udang masak lemak cili padi. Selera sungguh aku makan. Suasana di meja makan sunyi sepi. Fariza yang juga makan bersama kami, aku lihat asyik menyuap nasi ke mulut.
Nurjannah membisu seribu bahasa dan aku sendiri bagai kehilangan cerita. Sebenarnya jauh di sudut hati, aku terlalu lama rindukan gelak tawa Nurjannah. Entah kenapa hari ini aku kehilangan punca mencari kemesraannya.
Sesudah makan malam aku duduk-duduk di ruang tamu di samping Fariza. Nurjannah menghampiriku sambil menghulur satu sampul surat berwarna jingga. Aku masih ingat, itulah sampul surat kad undangan perkahwinanku dengan Normi. Aku bagaikan tersentak. Borang permohonan cerai. Telah lengkap diisi hampir terlepas dari tanganku. Aku terpempan. Terkedu.
Hilang sudah segala kekuatan yang ada. Aku cuba menolak rasa sangsi. Adakah aku berdepan dengan realiti atau sebaliknya. Aku lihat reaksi Nurjannah, tenang dan bersahaja. Ada sesuatu yang ingin diutarakannya.
Aku menunggu dengan sabar, mahu penjelasan yang wajar darinya.
"Bang, lapan belas tahun yang lalu, Jannah dengan rela hati menandatangani borang permohonan poligami, Jannah harap abang juga boleh melakukannya sekarang," pintanya dengan suara yang aku rasakan bagai belati menghiris hati. Rasanya ingin gugur air mata lelakiku. Namun kutahan. Adakah ini balasan untuk pengorbanan yang telah kau lakukan. Kukira langkah mu tidak akan terlanjur sejauh itu. Nurjannah, barang kali beginilah deritanya hatimu dulu, ketika mahu melepas pergi orang yang dikasihi..
'Jannah tak mahu abang terus dihumban dosa kerana sememangnya abang tidak pernah berlaku adil. Selama ini pun Jannah hanya tak mahu kehidupan anak-anak kita terganggu lantaran sikap kita. Jannah rasa pengorbanan Jannah sudah sampai ke penghujungnya. Lagi pun kesabaran Jannah sudah tinggal sia-sia. Jannah tidak mahu jadi isteri derhaka apabila kesabaran
sudah tiada lagi. Anak-anak kita pun sudah dewasa, mereka sudah boleh hidup sendiri," Nurjannah bersuara lagi tanpa sebarang riak api kebencian kepadaku.
"Kami adik beradik telah lama kumpul wang untuk hantar ibu tunaikan fardhu haji tahun ini," sambung Fariza.
Aku merenung mata Fariza dalam-dalam. Lama. Sehinggalah Fariza bersuara. "Kami bukan tak mahu hantar ayah ke Mekah, tapi kalau ayah pergi nanti, siapa nak jaga mak cik Normi, kan ayah tak pernah tinggal mak cik Normi sorang-sorang."
"Jannah, abang tak mahu kehilangan Jannah, biar abang tinggalkan Normi," pintasku cuba melerai! kekusutan yang membelit diri.
"Sejauh mana sekali pun abang tinggalkan Normi, hati Jannah tetap terluka.
Tanda tangan borang tu bang," pinta Nurjannah sungguh-sungguh.
Aku rasakan itulah dentuman petir yang paling kuat pernah memanahi pendengaranku dan beban yang teramat sarat yang menghempap bahuku.
Tiba-tiba aku terkenangkan sejadah yang sering dihampar oleh Nurjannah isteriku. Dengan langkah yang longlai aku mengambil wuduk, Nurjannah hanya memerhati dari jauh. Di dalam bilik sembahyang aku mencari-cari sejadah yang terbentang. Tiada. Aku jatuh terduduk.
Sebak! Hati ini terlalu sebak. Lutut ini terasa lumpuh untuk menanggung beban yang teramat berat. Tak mampu lagi dipikul oleh bahuku, apatah lagi di usia yang telah agak banyak ini. Kalaulah aku tahu beginilah hatinya, sumpah aku tidak lakukan semua ini. Dia tetap berwajah tenang. Tidak kelihatan walau secalit resah di kelopak mata, di pipinya malah bibirnya.
Segalanya masih sama seperti dulu. Aku leka. Leka dengan setiap kehendak hatiku. Semua tingkah laku ku tidak pernah dipersoalkan. Cuma ketika dia menurunkan tanda tangan keizinan, aku lihat ada titisan air mata gugur di pipinya. Itulah kali terakhir aku lihat dia menangis.
Dia tidak menuntut apa-apa dariku untuk dirinya selain dari mengingati aku tentang nafkah anak-anak kami yang seramai lima orang. Dia meninggalkan perkarangan mahkamah, setelah sedikit sesi kaunseling selesai. Aku mempelawa untuk menghantar pulang. Dalam senyuman yang kukira dibuat-buat, dia menolak dengan alasan, mulai dari hari ini dia akan belajar untuk mengurus hidupnya sendiri.
Aku tidak ambil pusing dengan perkara itu. Aku meneruskan niatku mengahwini Normi. Dia tidak sedikit pun membentak bila aku memintanya menggosok sepasang baju Melayu, pakaian pengantinku. Cuma di kala itu aku kehilangan senyuman manja daripadanya. Dia terus berwajah tenang dan syahdu. Sebelum aku melangkah pergi, dia masih seperti selalunya, bersalaman dan mencium tanganku sambil berpesan jaga diri baik-baik.
Aku mengahwini Normi setelah setahun menjalin persahabatan. Aku sendiri kurang pasti mengapa aku tertarik dengan Normi. Cuma yang aku sedar, aku kasihankan kepada anaknya yang sedari awal memanggil aku ayah. Mungkin juga kerana Normi cantik. Perwatakannya yang manja membuatkan ramai lelaki tergoda. Dan akulah yang paling kalah dengan kemanjaannya. Walau apa pun alasan, antara aku dan Normi memang ditakdirkan ada jodoh, kerana itu kami berkahwin. Walau ibu dan ayahku malah s audara mara menentang hebat kemahuanku. Apa kurangnya Norjannah, soal mereka.
Memang aku akui, tiada cacat celanya Nurjannah. Dia memiliki semuanya. Cantik dan seorang perempuan yang lengkap memenuhi ciri-ciri seorang isteri, ibu dan pengasuh anak-anak yang baik. Dia juga pernah menjadi rebutan pemuda sekampung. Di antara mereka, aku orang yang paling bertuah menjadi pilihan Nurjannah. Tuah itu aku sambut dengan penuh rasa kesyukuran. Dia melahirkan zuriatku seramai lima orang. Dia tidak pernah mengeluh keletihan melayan kerenah anak-anak walau aku kurang membantu. Keperluanku juga dijaga sepenuhnya. Tiada apa yang dimusykilkan di hati ini terhadapnya. Segalanya cukup sempurna.
Pendidikan agama untuk anak-anakku juga diberikan oleh Nurjannah. Semua anak-anakku khatam Al Quran di usia sepuluh tahun. Semua itu Nurjannah yang ajarkan. Anak-anakku tahu akan tanggungjawab mengerjakan sembahyang seawal usia enam tahun. Itu juga Nurjannah, isteriku juga yang ajarkan. Bukan sekadar anak-anak malah aku sendiri pun diuruskan oleh Nurjannah.
Ketika aku sedang mandi, pakaian kerjaku dari baju hinggalah ke stokin Nurjannah sudah aturkan. Aku cuma capai sahaja. Ketika aku berwuduk, Nurjannah telah siap membentang sejadah sembahyang. Setiap kali aku pulang kerja, sekurang-kurangnya, segelas minuman telah tersedia di ruang rehat.
Nurjannah tidak pernah menyusahkan aku walau menghantarnya ke pasar. Katanya, dia boleh pergi sendiri. Selama sebelas tahun hidup bersamanya, Nurjannah faham benar seleraku. Selama sebelas tahun itu juga seingatku tidak pernah sekalipun Nurjannah menyakiti hatiku.
Menjelang hari-hari perayaan, ketika rakan-rakan sepejabatku mengeluh kerana isteri di rumah minta menukar langsir baru, Nurjannah isteriku di rumah terbongkok-bongkok mencuci langsir lama. Bila kami diberi bonus tahunan oleh majikan, rakan-rakanku resah kerana isteri masing-masing turut meminta imbuhan untuk membeli seutas dua barang kemas. Tetapi isteriku Nurjannah tidak pernah meminta semua itu. Nurjannah menasihati aku agar menyimpan wang lebihan. Untuk kegunaan masa depan katanya. Akhirnya aku menggunakan wang simpanan tersebut untuk perkahwinanku dengan Normi, madu Nurjannah. Setelah berkahwin dengan Normi, barulah aku merasai segala masalah seperti yang dihadapi teman-teman sepejabatku. Apa nak buat, terlajak perahu boleh diundur, terlajak perbuatan sepahit mana sekalipun, terpaksalah ditelan jua. Apatah lagi aku dan Normi telah dikurniakan seorang cahaya mata.
Sepanjang perkahwinan dengan Normi, aku memang jarang-jarang sekali pulang ke rumah Nurjannah. Kadang-kadang seminggu sekali, kadang-kadang sebulan sekali. Itupun untuk memberi wang perbelanjaan anak-anak. Nurjannah tetap dengan sifat sabarnya. Walau aku memperlakukannya sedemikian, dia tidak pernah marah-marah apalagi mengamuk. Setiap kali kepulanganku, dia sambut tanpa secebis riak kemarahan. Bersalam dan mencium tanganku. Dia tetap menyediakan makanan kegemaranku. Cuma yang amat aku terasa, aku kehilangan senyuman mesranya.
Dia pernah meminta izinku membantu abangnya yang berniaga di kedai runcit berhampiran dengan rumah kami. Aku sedar, mungkin perbelanjaan harian dariku tidak mencukupi, tetapi aku buat-buat tidak tahu. Lagipun Nurjannah tidak pernah menyebutnya. Aku lihat tubuhnya kurus sedikit. Aku bertanya padanya apakah dia sakit atau ada apa-apa masalah. Namun dia hanya
menggeleng kepala.
Aku tidak pasti reaksi anak-anak terhadapku setelah aku berkahwin lain. Kelima-lima anakku dengan Nurjannah tidak pernah menunjukkan tanda-tanda membantah atau marah. Cuma antara kami kurang mesra, mungkin kerana sudah jarang berjumpa. Alhamdulillah aku punyai anak-anak sebaik Nurjannah.
Kelima-lima anakku sudah berjaya. Semuanya sudah menjejaki menara gading. Terasakan begitu cepat masa berlalu. Anak-anakku sudah menjangkau dewasa. Fahmi anakku yang sulung menjawat jawatan doktor, Fariza menjadi pensyarah, Fakhrul pu la pegawai di jabatan kerajaan, Farihin seorang guru dan Farina telah tamat dan majlis konvokesyennya akan diadakan dua hari
lagi.
Aku pulang hari ini, di atas permintaan Farina agar aku dan ibunya hadir di majlis bersejarah baginya. Seingat aku telah dua bulan aku tidak menjengah Nurjannah. Namun kepulanganku tetap disambut baik oleh Nurjannah. Bersalam dan mencium tanganku seperti dulu-dulu. Dia tidak pernah menunjukkan riak kurang senang padaku. Walhal sudah banyak perkara yang telah aku lukai hatinya, namun sukar untuknya menunjukkan rasa memberontak. Kesabarannya banyak mengajarku apa erti kesetiaan seorang suami. Aku akui bukan seorang suami yang adil. Adil dalam mencurahkan kasih sayang. Mungkin juga pengaruh isteri mudaku, namun aku tidak menyalahinya.
Keterlanjuranku mengahwini memberi satu perbandingan yang nyata antara keduanya. Namun kesalahan masih berpihak padaku seolah-olah tidak mampu untuk berlaku adil.!
Hari ini Nurjannah memasak lauk kegemaranku, udang masak lemak cili padi. Selera sungguh aku makan. Suasana di meja makan sunyi sepi. Fariza yang juga makan bersama kami, aku lihat asyik menyuap nasi ke mulut.
Nurjannah membisu seribu bahasa dan aku sendiri bagai kehilangan cerita. Sebenarnya jauh di sudut hati, aku terlalu lama rindukan gelak tawa Nurjannah. Entah kenapa hari ini aku kehilangan punca mencari kemesraannya.
Sesudah makan malam aku duduk-duduk di ruang tamu di samping Fariza. Nurjannah menghampiriku sambil menghulur satu sampul surat berwarna jingga. Aku masih ingat, itulah sampul surat kad undangan perkahwinanku dengan Normi. Aku bagaikan tersentak. Borang permohonan cerai. Telah lengkap diisi hampir terlepas dari tanganku. Aku terpempan. Terkedu.
Hilang sudah segala kekuatan yang ada. Aku cuba menolak rasa sangsi. Adakah aku berdepan dengan realiti atau sebaliknya. Aku lihat reaksi Nurjannah, tenang dan bersahaja. Ada sesuatu yang ingin diutarakannya.
Aku menunggu dengan sabar, mahu penjelasan yang wajar darinya.
"Bang, lapan belas tahun yang lalu, Jannah dengan rela hati menandatangani borang permohonan poligami, Jannah harap abang juga boleh melakukannya sekarang," pintanya dengan suara yang aku rasakan bagai belati menghiris hati. Rasanya ingin gugur air mata lelakiku. Namun kutahan. Adakah ini balasan untuk pengorbanan yang telah kau lakukan. Kukira langkah mu tidak akan terlanjur sejauh itu. Nurjannah, barang kali beginilah deritanya hatimu dulu, ketika mahu melepas pergi orang yang dikasihi..
'Jannah tak mahu abang terus dihumban dosa kerana sememangnya abang tidak pernah berlaku adil. Selama ini pun Jannah hanya tak mahu kehidupan anak-anak kita terganggu lantaran sikap kita. Jannah rasa pengorbanan Jannah sudah sampai ke penghujungnya. Lagi pun kesabaran Jannah sudah tinggal sia-sia. Jannah tidak mahu jadi isteri derhaka apabila kesabaran
sudah tiada lagi. Anak-anak kita pun sudah dewasa, mereka sudah boleh hidup sendiri," Nurjannah bersuara lagi tanpa sebarang riak api kebencian kepadaku.
"Kami adik beradik telah lama kumpul wang untuk hantar ibu tunaikan fardhu haji tahun ini," sambung Fariza.
Aku merenung mata Fariza dalam-dalam. Lama. Sehinggalah Fariza bersuara. "Kami bukan tak mahu hantar ayah ke Mekah, tapi kalau ayah pergi nanti, siapa nak jaga mak cik Normi, kan ayah tak pernah tinggal mak cik Normi sorang-sorang."
"Jannah, abang tak mahu kehilangan Jannah, biar abang tinggalkan Normi," pintasku cuba melerai! kekusutan yang membelit diri.
"Sejauh mana sekali pun abang tinggalkan Normi, hati Jannah tetap terluka.
Tanda tangan borang tu bang," pinta Nurjannah sungguh-sungguh.
Aku rasakan itulah dentuman petir yang paling kuat pernah memanahi pendengaranku dan beban yang teramat sarat yang menghempap bahuku.
Tiba-tiba aku terkenangkan sejadah yang sering dihampar oleh Nurjannah isteriku. Dengan langkah yang longlai aku mengambil wuduk, Nurjannah hanya memerhati dari jauh. Di dalam bilik sembahyang aku mencari-cari sejadah yang terbentang. Tiada. Aku jatuh terduduk.
Tuesday, June 10, 2003
Ku Harap Doa Ku Termakbul
Jejari mulus Rabiatul Adawiyah rancak menari-nari atas papan kekunci komputer. Tusukan matanya yang lembut, dihadang oleh sepasang cermin mata yang agak tebal memandang tepat ke arah skrin komputer. Asyik sekali dia menyudahkan tugasannya sejak awal pagi. Sesekali dia mengalihkan pandangannya ke arah timbunan kertas di disisinya.
Dalam kesibukan itu, tanpa disedarinya ada sepasang anak mata sedang mengintai kerjanya melalui celah pintu pejabat tersebut. Terbayang dari muka si pengintai itu satu perasaan yang tersimpul dengan pelbagai masalah yang sukar dirungkai.
Dia menghela nafasnya dengan berat. Perlahan-lahan dia menuju ke kerusi empuk di dalam bilik itu. Dia melabuhkan pinggungnya. Matanya cepat menangkap ke sudut mejanya dan membaca tanda nama yang berada di situ. “”DATO’ HASYIM”. Tapi dia tidak pernah puas untuk kesekian kalinya. Semacam satu kebahagiaan membacanya, lebih-lebih lagi gelaran dato’ dipangkal ! namanya itu.
Mindanya kembali kepada setiausahanya, Rabiatul Adawiyah. Entah mengapa ada suatu lonjakan rasa tak senang terhadap gadis yang berkulit kuning langsat itu. Perasaan tiu bukan berpunca daripada kelemahan kerja gadis itu atau kesilapan yang dilakukankannya. Malah Rabiatul Adawiyah adalah seorang pekerja yang cekap, rajin dan berdedikasi. Setiap tugasan yang dilakukan mampu disiapkan dalam masa yang singkat.
Padanya, Rabiatul Adawiyah sangat berbeza dengan bekas-bekas setiausahanya yang lain. Rabiatul Adawiyah tidak seperti Nancy yang seksi orangnya, Wati yang manja orangnya atau Tina yang banyak keletah. Dengan berpakaian jubah yang longgar, tudung labuh melitupi dada dan sifatnya yang tak banyak cakap terutama dengan lelaki menjadikannya seorang gadis yang aneh di tengah-tengah kota metropolitan ini.
Malah di kalangan para pekerjanya timbul desas-desus tentang penampilan dan personaliti Rabiatul Adawiyah. Ada yang mengatakannya sombong. Tidak k! urang juga yang beranggapan Rabiatul Adawiyah ketinggalan zaman dan te rbelenggu dalam cengkaman tradisi yang lapuk.
Dia sependapat dengan pekerja-pekerjanya. Baginya, Rabiatul Adawiyah out-dated dan tidak berwawasan. Dan yang memeritkan hatinya, sudah banyak pelawaan untuk keluar makan ditolak.
Pernah sekali amarahnya tidak dapat dibendung apabila gadis itu menolak jemputan untuk menemaninya ke majlis makan malam yang diadakan bagi meyambut kepulangan seorang tokoh korporat dari luar negara.
“Kenapa dengan awak ni Ruby? Setiap pelawaan saya, awak tolak mentah-mentah. Apa awak ingat saya main-main ke?”
“Bukan begitu dato’. Saya hargai kesungguhan Dato’ itu, tetapi majlis itu kurang sesuai dengan diri saya,” jawab Rabiatul Adawiyah atau Ruby, nama yang diberikan oleh Dato’ Hasyim lantaran lidahnya tidak petah untuk menyebut nama penuh Rabiatul Adawiyah.
“Lagi-lagi itu alasan awak. Alasan yang tak logik itu tak juga yang awak gunakan . Come on, Ruby. Jangan jadi bodoh. Kita hidup dalam zaman realiti. Zaman yang ! menuju wawasan. Dengan penampilan awak ni akan membantutkan kemajuan!” marah sekali Dato’ Hasyim.
“Adakah Dato’ fikir penampilan saya ini boleh menjejaskan kemajuan? Tidak Dato’! Tidak ada satu teori pun yang diutarakan oleh para intelektual mahupun cendekiawan yang mengatakan bahawa pakaian mempengaruhi kemajuan. Malah saya berasa selamat dengan imej yang saya bawa ini,” lembut sekali suara Rabiatul Adawiyah menangkis kata-kata Dato’ Hasyim, selembut-semilir bayu yang menghembus. “Selamat? Awak tak tahu Ruby, dengan imej yang awak bawa ni, ia menggambarkan kesempitan pemikiran awak? Ternyata awak masih terkongkong dengan tradisi yang kuno. Awak seolah-olah menafikan hak awak, hak kewanitaan untuk hidup bebas seperti…..”
“Seperti wanita di barat? Yang kononnya telah mendapat persamaan taraf dengan kaum lelaki dan menghirup udara kebebasan mutlak? Pada zahirnya mereka gembira tetapi hakikatnya, maruah mereka hilang daripada tangan mereka. Hidup mereka tertekan. Ber! sekedudukan di luar nikah, pengguguran secara haram, penceraian, arak, penagihan dadah dan banyak lagi masalah yang melanda dalam kehidupan mereka. Kredebliti mereka rendah pada pandangan lelaki. Mereka dieksploit dan dipamerkan sebagai barangan dagangan serta dilabelkan sebagai pemuas hawa nafsu. Begitu?” tingkah Rabiatul Adawiyah sebelum sempat Dato’ Hisyam menghabiskan kata-katanya.
Dato’ Hisyam terhenyak di kerusinya. Lidahnya kelu dan kaku. Dia mengisar letak duduknya. Dasinya dirungkaikan. Panas, sepanas didihan air yang menggelegak.
Tidak disangkanya, Rabiatul Adawiyah yang selama ini diam dan tidak banyak bercakap, rupa-rupanya memiliki lidah yang tajam dan hujah yang pedas. Diam-diam ubi berisi.
Dato’ Hasyim mengambil sebatang rokok lalu dikepitnya di celah bibirnya yang kehitaman. Perlahan-lahan dinyalakan lantas dia menyedut asap dari candu ‘halal’ itu dalam-dalam dan kemudian dihembusnya dengan penuh nikmat, seolah-olah cuba menghalau kekalutan dalam diri.
“Saya hairan dengan sesetengah orang yang berpendapa! t bahawa dengan menghisap rokok boleh menghilangkan kerisauan dan ketegangan. Padahal, mereka tidak sedar bahawa umur mereka terhakis sedikit demi sedikit,” terpancut kalimah yang tidak disangka olah Dato’ Hasyim.
“Awak menyindir saya, Ruby?” pantas sekali dia membalas.
“Tidak, this is a fact, saya tidak bermaksud untuk menyindir Dato’. Maaflah jika Dato’ terasa,” jelas Rabiatul Adawiyah.
“Sudah, kalau awak tidak mahu, tak apa. Saya boleh cari perempuan lain. Bersepah yang mahu. Sekali saya petik jari, sepuluh yang datang melutut,”.
Alangkah murahnya harga wanita pada pandangan Dato’ Hasyim. Baginya perempuan boleh dibeli dengan wang ringgit. Sedikit sahaja imbuhan yang diberi, maka terkulailah kepala mereka di dada Dato’ Hasyim. Sanggup mengikut Dato’ Hasyim walau ke mana saja, hatta ke kamar hotel sekalipun.
Tok! Tok! Tok! Bunyi ketukan di pintu mengheret Dato’ Hasyim ke alam realiti. Belum pun sempat Dato’ Hasyim membuka mulutnya, Rabiatul Ada! wiyah melangkah masuk. Kelihatan fail di tangannya.
“Dato’, in i dia fail mengenai projek pembinaan kilang getah yang saya taipkan. Hanya perlu Dato’ tandatangan sahaja,” kata Rabiatul Adawiyah seraya menyerahkan fail tersebut.
Seperti dipukau, Dato’ Hasyim mengambil fail tersebut dan meletakkannya di atas meja. Tiada sepatah katapun yang keluar daripada mulutnya.
“Kalau tiada apa-apa , saya balik dulu Dato’,”
“Emm….baiklah…Err..Ruby, saya hantarkan awak balik,” pelawa Dato Hasyim tatkala Rabitul Adawiyah memulas tombol pintu.
“Terima kasih sajalah Dato’, saya dah biasa naik bas. Lagipun perjalanan kita tidak sehaluan,” tolak Rabiatul Adawiyah.
Perjalanan kita tidak sehaluan! Apakah maksud kalimat itu? Dirasanya kalimat itu umpama sindiran untuk dirinya. Pedas, sepedas cili api.
Rabiatul Adawiyah benar-benar menyiksa jiwanya. Kalau boleh, ingin saja dia memecat Rabiatul Adawiyah dan menggantikannya dengan orang lain yang lebih ‘ramah’. Tetapi segera dia teringat bahawa gadis itu adalah anak saudara kepada Tan! Sri Muhammad Hanif, salah seorang pemegang saham yang terbesar di syarikatnya.
Melihatkan Rabiatul, ingatannya mengimbau kembali kepada arwah isterinya, Tengku Farhana. Memori indah kembali terpamer di skrin ingatannya. Sememangnya tidak dapat dinafikan, Rabiatul Adawiyah mempunyai perwatakan yang hampir sama dengan Farhana.
“Ah, Ana! Mengapa kau terlalu awal meninggalkanku. Jiwaku kosong tanpamu, Ana,” keluh Dato’ Hasyim.
Sememangnya Tengku Farhana telah banyak mencorakkan hidupnya. Semangat dan dorongan yang diberikannya sedikit sebanyak telah menempatkan Dato’ Hasyim setara dengan usahawan-usahawan bangsa lain. Malah tidak keterlaluan untuk mengatakan bahawa Dato’ Hasyim adalah di antara bumiputera yang terbaik di Malaysia.
Tengku Farhana mendapat pendidikan yang cukup mantap dari sebuah sekolah agama yang terulung di Malaysia telah memastikan Dato’ Hasyim sentiasa berada di paksi kebenaran. Kejayaan yang dicapai Dato’ Hasyim seiring dengan pemb! angunan rohaniyahnya.
Kehidupan mereka berdua bahagia walaupun tanpa gelak ketawa anak-anak. Ikatan hubungan mereka mesra dengan gurauan dan cumbuan kasih Dato’ Hasyim di atas pentas keimanan.
Tetapi panas yang disangkakan hingga ke petang rupanya hujan di tengahari. Tengku Farhana telah kembali ke pangkuan Ilahi kira-kira tujuh tahun yang lalu akibat penyakit barah rahim. Pemergian Farhana telah membawa bersama semangat Dato’ Hasyim meninggalkannya terumbang- ambing umpama bahtera kehilangan nakhodanya. Dato’ Hasyim benar-benar kecewa sehingga dia menyalahkan takdir yang menimpa. Dia tidak dapat menerima hakikat bahawa setiap yang hidup pasti mati.
Sejak itu, Dato’ Hasyim mula mengenali champagne, wiski dan beer. Dia juga mahu menghabiskan masanya yang terluang di disko-disko dan pub-pub. Bertukar-tukar pasangan dan tempat tidur telah menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Dato’ Hasyim sudah lupakan Tuhan. Baginya kejayaan yang dicapai adalah atas usahanya sendiri. Dia lupa untuk mensyukuri nikmat yang telah dikurniakan ke at! asnya. Seolah-olah dia berdendam dengan penciptanya sendiri. Akhirnya Dato’ Hasyim telah terlena dengan keindahan dunia yang fana ini.
Tiba-tiba Dato’ Hasyim tersentak daripada lamunannya. Keadaan di sekelilingnya telah pun gelap, segelap hatinya kini. Tangannya segera memetik lampu di meja. Jam sudahpun menunjukkan jam 9.00 malam.
Masih terlalu awal untuk pulang ke villa mewahnya. Sekurang-kurangnya dia boleh menghabiskan masa di mana-mana kelab malam mahupun disko. Di situ dia boleh menenangkan jiwanya dengan air kencing syaitan dan pelacur-pelacur eksklusif.
Tidak sampai dua puluh minit dengan menaiki BMW siri yang terbaru, dia sampai di kelab malam Virgo, kelab malam yang terkenal di ibu kota. Kilauan cahaya neon yang silih berganti warnanya memberikan inspirasi kepadanya. Champagne diteguknya dengan rakus dan penuh kenikmatan bersama pelukan pelayan-pelayan di situ.
Masa pun berlalu. Terbiar tanpa diisi dengan sesuatu bermakna. Malah penuh denga! n dosa dan noda. Syaitan-syaitan bertepuk tangan melihat bakal teman m ereka di jahanam kelak.
Dato’ Hasyim merasakan sudah sampai masanya untuk pulang ke rumah. Pulang ke pangkuan isterinya, Mariana seorang pelakon yang popular di arena perfileman dengan lakonan yang hangat. Jalannya terhoyong hayang. Fikirannya terbelenggu dengan minuman keras. Akalnya tidak dapat digunakan sepenuhnya. Sesampai di keretanya, dia muntah. Jijik sekali. Tapi apalah erti malu pada seorang pemabuk sepertinya.
Dalam perjalanan, fikirannya merancang sesuatu yang bermakna untuk dirinya. Ternyata syaitan telah membisikkan hasutan jahat. “Ruby mesti diajar! Biar dia tahu siapa aku. Orang yang boleh menyebabkan perempuan melutut di kakinya minta belas ehsan,” detik hati kecilnya. Haluannya diubah, menuju ke rumah Rabiatul Adawiyah. Tergambar di kepalanya rancangan yang bakal dilakukan di rumah yang pernah didiami bersama arwah isterinya dahulu. Keretanya diberhentikan betul-betul di hadapan rumah teres satu tingkat yang dijadikan tempat penginapan para pek! erjanya. Dia tahu kedua-dua teman serumah Ruby tidak ada di situ. Syima, seorang pegawai pengurusan yang dihantarnya ke Langkawi manakala Liana, PRO, bercuti balik kampung.
Dia terseringai kegembiraan, bak harimau lapar. Memikirkan kenikmatan yang bakal dihirupnya daripada seorang gadis tulen, Rabiatul Adawiyah. Dia akan mengajar gadis itu satu pengajaran yang tidak akan dilupakan gadis itu buat selama-lamanya.
Dengan menggunakan anak kunci yang dimilikinya, Dato’ Hasyim melangkah masuk dengan perasaan berkobar-kobar. Satu demi satu anak tangga dinaikinya, satu demi satu juga hijab kemanusiaannya tersingkap, menampakkan kehaiwanan dan kesyaitanannya yang bergelora.
Dato’ Hasyim menuju ke bilik Rabiatul Adawiyah. Bilik itu akan menjadi saksi kepada kejayaannya kelak, menundukkan seorang wanita yang keras kepala.
Sesampainya di hadapan pintu bilik Rabiatul Adawiyah, tangannya agak menggeletar, dia memulas tombol pintu itu. Entah mengapa kali ini dia gugup. Di! rasakannya bak membuka pintu neraka. Pintu bilik itu direnggangkan sed ikit. Peluh jantan membasahi dahinya. Debaran hatinya bertambah kuat. Mulutnya terlopong.
“Apakah lembaga putih itu?” bisik hati kecilnya.
Lembaga putih itu kelihatan menyembah bumi, seolah-olah sedang sujud di atas sebuah hamparan putih. Tunduk mencium bumi, yang menjadi asal-usul kejadian manusia.
Semangat yang datang bersamanya telah hilang diterbangkan taufan ketakutan. Kakinya seolah-olah dibelenggu rantai besi yang mencengkam buku lalinya. Tubuhnya kaku seolah-olah dibaluti kain kafan yang ketat ikatannya.
Lembaga itu, Rabiatul Adawiyah bangkit dari sujudnya penuh kehinaan dan ketakutan terhadap Khaliqnya. Dia menangis teresak-esak. Air matanya berguguran membasahi pipinya yang gebu, sekaligus membuka pintu hatinya untuk bertaubat. Dirasanya begitu kerdil dan hina di sisi Allah. Lalu diangkat tangannya menadah kerahmatan ar-Rahman sekaligus ar-Rahim terhadap hambanya yang mukminah.
“Ya Allah! Ya Rahman! Ya Rahim! Ya Jabbar! Ya Malikul Qud! dus! Sesungguhnya aku ini hamba yang lemah, tetapi engkau Al-Khaliq yang Maha Berkuasa. Aku tidak mempunyai apa-apa kudrat melainkan di atas keizinanMu jua. Kurniakanlah pertolongan kepadaku dalam menghadapi segala ujian-Mu. Sesungguhnya aku tidak mampu beribadat kepada-Mu dengan khushuk dalam keadaan ku dibelenggu ‘perhambaanku’ terhadap majikanku. Bukalah pintu hatinya untuk membebaskanku. Dan kurniakannlah baginya keampunan dan hidayah daripada-Mu serta kebaikan di dunia dan akhirat. Wahai Tuhan Yang Maha Mendengar permintaan hambanya. Kabulkanlah permintaanku, ya Allah.”
Dato’ Hasyim menggeletar. Fikirannya kelam dan kosong. Matanya berkunang-kunang. Dia hilang keseimbangan diri. Mujurlah yang tinggal secalit Cuma menghalangnya daripada terjatuh.
Dato’Hisyam tersandar di dinding. Akhirnya dia menggelongsor jatuh. Air mata yang tidak pernah menjenguk keluar, menghadirkan diri. Akan ditaburnya benih-benih keimanan dalam tanah hatinya. Akan dibebaskan Rabiatul A! dawiyah daripada cengkaman kuku besi dan penganiayaannya.
“Ku harap doaku termakbul,” cetus hati kecilnya.
Dipetik dari:
(MUSLIMAH-OKTOBER 1995)
Jejari mulus Rabiatul Adawiyah rancak menari-nari atas papan kekunci komputer. Tusukan matanya yang lembut, dihadang oleh sepasang cermin mata yang agak tebal memandang tepat ke arah skrin komputer. Asyik sekali dia menyudahkan tugasannya sejak awal pagi. Sesekali dia mengalihkan pandangannya ke arah timbunan kertas di disisinya.
Dalam kesibukan itu, tanpa disedarinya ada sepasang anak mata sedang mengintai kerjanya melalui celah pintu pejabat tersebut. Terbayang dari muka si pengintai itu satu perasaan yang tersimpul dengan pelbagai masalah yang sukar dirungkai.
Dia menghela nafasnya dengan berat. Perlahan-lahan dia menuju ke kerusi empuk di dalam bilik itu. Dia melabuhkan pinggungnya. Matanya cepat menangkap ke sudut mejanya dan membaca tanda nama yang berada di situ. “”DATO’ HASYIM”. Tapi dia tidak pernah puas untuk kesekian kalinya. Semacam satu kebahagiaan membacanya, lebih-lebih lagi gelaran dato’ dipangkal ! namanya itu.
Mindanya kembali kepada setiausahanya, Rabiatul Adawiyah. Entah mengapa ada suatu lonjakan rasa tak senang terhadap gadis yang berkulit kuning langsat itu. Perasaan tiu bukan berpunca daripada kelemahan kerja gadis itu atau kesilapan yang dilakukankannya. Malah Rabiatul Adawiyah adalah seorang pekerja yang cekap, rajin dan berdedikasi. Setiap tugasan yang dilakukan mampu disiapkan dalam masa yang singkat.
Padanya, Rabiatul Adawiyah sangat berbeza dengan bekas-bekas setiausahanya yang lain. Rabiatul Adawiyah tidak seperti Nancy yang seksi orangnya, Wati yang manja orangnya atau Tina yang banyak keletah. Dengan berpakaian jubah yang longgar, tudung labuh melitupi dada dan sifatnya yang tak banyak cakap terutama dengan lelaki menjadikannya seorang gadis yang aneh di tengah-tengah kota metropolitan ini.
Malah di kalangan para pekerjanya timbul desas-desus tentang penampilan dan personaliti Rabiatul Adawiyah. Ada yang mengatakannya sombong. Tidak k! urang juga yang beranggapan Rabiatul Adawiyah ketinggalan zaman dan te rbelenggu dalam cengkaman tradisi yang lapuk.
Dia sependapat dengan pekerja-pekerjanya. Baginya, Rabiatul Adawiyah out-dated dan tidak berwawasan. Dan yang memeritkan hatinya, sudah banyak pelawaan untuk keluar makan ditolak.
Pernah sekali amarahnya tidak dapat dibendung apabila gadis itu menolak jemputan untuk menemaninya ke majlis makan malam yang diadakan bagi meyambut kepulangan seorang tokoh korporat dari luar negara.
“Kenapa dengan awak ni Ruby? Setiap pelawaan saya, awak tolak mentah-mentah. Apa awak ingat saya main-main ke?”
“Bukan begitu dato’. Saya hargai kesungguhan Dato’ itu, tetapi majlis itu kurang sesuai dengan diri saya,” jawab Rabiatul Adawiyah atau Ruby, nama yang diberikan oleh Dato’ Hasyim lantaran lidahnya tidak petah untuk menyebut nama penuh Rabiatul Adawiyah.
“Lagi-lagi itu alasan awak. Alasan yang tak logik itu tak juga yang awak gunakan . Come on, Ruby. Jangan jadi bodoh. Kita hidup dalam zaman realiti. Zaman yang ! menuju wawasan. Dengan penampilan awak ni akan membantutkan kemajuan!” marah sekali Dato’ Hasyim.
“Adakah Dato’ fikir penampilan saya ini boleh menjejaskan kemajuan? Tidak Dato’! Tidak ada satu teori pun yang diutarakan oleh para intelektual mahupun cendekiawan yang mengatakan bahawa pakaian mempengaruhi kemajuan. Malah saya berasa selamat dengan imej yang saya bawa ini,” lembut sekali suara Rabiatul Adawiyah menangkis kata-kata Dato’ Hasyim, selembut-semilir bayu yang menghembus. “Selamat? Awak tak tahu Ruby, dengan imej yang awak bawa ni, ia menggambarkan kesempitan pemikiran awak? Ternyata awak masih terkongkong dengan tradisi yang kuno. Awak seolah-olah menafikan hak awak, hak kewanitaan untuk hidup bebas seperti…..”
“Seperti wanita di barat? Yang kononnya telah mendapat persamaan taraf dengan kaum lelaki dan menghirup udara kebebasan mutlak? Pada zahirnya mereka gembira tetapi hakikatnya, maruah mereka hilang daripada tangan mereka. Hidup mereka tertekan. Ber! sekedudukan di luar nikah, pengguguran secara haram, penceraian, arak, penagihan dadah dan banyak lagi masalah yang melanda dalam kehidupan mereka. Kredebliti mereka rendah pada pandangan lelaki. Mereka dieksploit dan dipamerkan sebagai barangan dagangan serta dilabelkan sebagai pemuas hawa nafsu. Begitu?” tingkah Rabiatul Adawiyah sebelum sempat Dato’ Hisyam menghabiskan kata-katanya.
Dato’ Hisyam terhenyak di kerusinya. Lidahnya kelu dan kaku. Dia mengisar letak duduknya. Dasinya dirungkaikan. Panas, sepanas didihan air yang menggelegak.
Tidak disangkanya, Rabiatul Adawiyah yang selama ini diam dan tidak banyak bercakap, rupa-rupanya memiliki lidah yang tajam dan hujah yang pedas. Diam-diam ubi berisi.
Dato’ Hasyim mengambil sebatang rokok lalu dikepitnya di celah bibirnya yang kehitaman. Perlahan-lahan dinyalakan lantas dia menyedut asap dari candu ‘halal’ itu dalam-dalam dan kemudian dihembusnya dengan penuh nikmat, seolah-olah cuba menghalau kekalutan dalam diri.
“Saya hairan dengan sesetengah orang yang berpendapa! t bahawa dengan menghisap rokok boleh menghilangkan kerisauan dan ketegangan. Padahal, mereka tidak sedar bahawa umur mereka terhakis sedikit demi sedikit,” terpancut kalimah yang tidak disangka olah Dato’ Hasyim.
“Awak menyindir saya, Ruby?” pantas sekali dia membalas.
“Tidak, this is a fact, saya tidak bermaksud untuk menyindir Dato’. Maaflah jika Dato’ terasa,” jelas Rabiatul Adawiyah.
“Sudah, kalau awak tidak mahu, tak apa. Saya boleh cari perempuan lain. Bersepah yang mahu. Sekali saya petik jari, sepuluh yang datang melutut,”.
Alangkah murahnya harga wanita pada pandangan Dato’ Hasyim. Baginya perempuan boleh dibeli dengan wang ringgit. Sedikit sahaja imbuhan yang diberi, maka terkulailah kepala mereka di dada Dato’ Hasyim. Sanggup mengikut Dato’ Hasyim walau ke mana saja, hatta ke kamar hotel sekalipun.
Tok! Tok! Tok! Bunyi ketukan di pintu mengheret Dato’ Hasyim ke alam realiti. Belum pun sempat Dato’ Hasyim membuka mulutnya, Rabiatul Ada! wiyah melangkah masuk. Kelihatan fail di tangannya.
“Dato’, in i dia fail mengenai projek pembinaan kilang getah yang saya taipkan. Hanya perlu Dato’ tandatangan sahaja,” kata Rabiatul Adawiyah seraya menyerahkan fail tersebut.
Seperti dipukau, Dato’ Hasyim mengambil fail tersebut dan meletakkannya di atas meja. Tiada sepatah katapun yang keluar daripada mulutnya.
“Kalau tiada apa-apa , saya balik dulu Dato’,”
“Emm….baiklah…Err..Ruby, saya hantarkan awak balik,” pelawa Dato Hasyim tatkala Rabitul Adawiyah memulas tombol pintu.
“Terima kasih sajalah Dato’, saya dah biasa naik bas. Lagipun perjalanan kita tidak sehaluan,” tolak Rabiatul Adawiyah.
Perjalanan kita tidak sehaluan! Apakah maksud kalimat itu? Dirasanya kalimat itu umpama sindiran untuk dirinya. Pedas, sepedas cili api.
Rabiatul Adawiyah benar-benar menyiksa jiwanya. Kalau boleh, ingin saja dia memecat Rabiatul Adawiyah dan menggantikannya dengan orang lain yang lebih ‘ramah’. Tetapi segera dia teringat bahawa gadis itu adalah anak saudara kepada Tan! Sri Muhammad Hanif, salah seorang pemegang saham yang terbesar di syarikatnya.
Melihatkan Rabiatul, ingatannya mengimbau kembali kepada arwah isterinya, Tengku Farhana. Memori indah kembali terpamer di skrin ingatannya. Sememangnya tidak dapat dinafikan, Rabiatul Adawiyah mempunyai perwatakan yang hampir sama dengan Farhana.
“Ah, Ana! Mengapa kau terlalu awal meninggalkanku. Jiwaku kosong tanpamu, Ana,” keluh Dato’ Hasyim.
Sememangnya Tengku Farhana telah banyak mencorakkan hidupnya. Semangat dan dorongan yang diberikannya sedikit sebanyak telah menempatkan Dato’ Hasyim setara dengan usahawan-usahawan bangsa lain. Malah tidak keterlaluan untuk mengatakan bahawa Dato’ Hasyim adalah di antara bumiputera yang terbaik di Malaysia.
Tengku Farhana mendapat pendidikan yang cukup mantap dari sebuah sekolah agama yang terulung di Malaysia telah memastikan Dato’ Hasyim sentiasa berada di paksi kebenaran. Kejayaan yang dicapai Dato’ Hasyim seiring dengan pemb! angunan rohaniyahnya.
Kehidupan mereka berdua bahagia walaupun tanpa gelak ketawa anak-anak. Ikatan hubungan mereka mesra dengan gurauan dan cumbuan kasih Dato’ Hasyim di atas pentas keimanan.
Tetapi panas yang disangkakan hingga ke petang rupanya hujan di tengahari. Tengku Farhana telah kembali ke pangkuan Ilahi kira-kira tujuh tahun yang lalu akibat penyakit barah rahim. Pemergian Farhana telah membawa bersama semangat Dato’ Hasyim meninggalkannya terumbang- ambing umpama bahtera kehilangan nakhodanya. Dato’ Hasyim benar-benar kecewa sehingga dia menyalahkan takdir yang menimpa. Dia tidak dapat menerima hakikat bahawa setiap yang hidup pasti mati.
Sejak itu, Dato’ Hasyim mula mengenali champagne, wiski dan beer. Dia juga mahu menghabiskan masanya yang terluang di disko-disko dan pub-pub. Bertukar-tukar pasangan dan tempat tidur telah menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Dato’ Hasyim sudah lupakan Tuhan. Baginya kejayaan yang dicapai adalah atas usahanya sendiri. Dia lupa untuk mensyukuri nikmat yang telah dikurniakan ke at! asnya. Seolah-olah dia berdendam dengan penciptanya sendiri. Akhirnya Dato’ Hasyim telah terlena dengan keindahan dunia yang fana ini.
Tiba-tiba Dato’ Hasyim tersentak daripada lamunannya. Keadaan di sekelilingnya telah pun gelap, segelap hatinya kini. Tangannya segera memetik lampu di meja. Jam sudahpun menunjukkan jam 9.00 malam.
Masih terlalu awal untuk pulang ke villa mewahnya. Sekurang-kurangnya dia boleh menghabiskan masa di mana-mana kelab malam mahupun disko. Di situ dia boleh menenangkan jiwanya dengan air kencing syaitan dan pelacur-pelacur eksklusif.
Tidak sampai dua puluh minit dengan menaiki BMW siri yang terbaru, dia sampai di kelab malam Virgo, kelab malam yang terkenal di ibu kota. Kilauan cahaya neon yang silih berganti warnanya memberikan inspirasi kepadanya. Champagne diteguknya dengan rakus dan penuh kenikmatan bersama pelukan pelayan-pelayan di situ.
Masa pun berlalu. Terbiar tanpa diisi dengan sesuatu bermakna. Malah penuh denga! n dosa dan noda. Syaitan-syaitan bertepuk tangan melihat bakal teman m ereka di jahanam kelak.
Dato’ Hasyim merasakan sudah sampai masanya untuk pulang ke rumah. Pulang ke pangkuan isterinya, Mariana seorang pelakon yang popular di arena perfileman dengan lakonan yang hangat. Jalannya terhoyong hayang. Fikirannya terbelenggu dengan minuman keras. Akalnya tidak dapat digunakan sepenuhnya. Sesampai di keretanya, dia muntah. Jijik sekali. Tapi apalah erti malu pada seorang pemabuk sepertinya.
Dalam perjalanan, fikirannya merancang sesuatu yang bermakna untuk dirinya. Ternyata syaitan telah membisikkan hasutan jahat. “Ruby mesti diajar! Biar dia tahu siapa aku. Orang yang boleh menyebabkan perempuan melutut di kakinya minta belas ehsan,” detik hati kecilnya. Haluannya diubah, menuju ke rumah Rabiatul Adawiyah. Tergambar di kepalanya rancangan yang bakal dilakukan di rumah yang pernah didiami bersama arwah isterinya dahulu. Keretanya diberhentikan betul-betul di hadapan rumah teres satu tingkat yang dijadikan tempat penginapan para pek! erjanya. Dia tahu kedua-dua teman serumah Ruby tidak ada di situ. Syima, seorang pegawai pengurusan yang dihantarnya ke Langkawi manakala Liana, PRO, bercuti balik kampung.
Dia terseringai kegembiraan, bak harimau lapar. Memikirkan kenikmatan yang bakal dihirupnya daripada seorang gadis tulen, Rabiatul Adawiyah. Dia akan mengajar gadis itu satu pengajaran yang tidak akan dilupakan gadis itu buat selama-lamanya.
Dengan menggunakan anak kunci yang dimilikinya, Dato’ Hasyim melangkah masuk dengan perasaan berkobar-kobar. Satu demi satu anak tangga dinaikinya, satu demi satu juga hijab kemanusiaannya tersingkap, menampakkan kehaiwanan dan kesyaitanannya yang bergelora.
Dato’ Hasyim menuju ke bilik Rabiatul Adawiyah. Bilik itu akan menjadi saksi kepada kejayaannya kelak, menundukkan seorang wanita yang keras kepala.
Sesampainya di hadapan pintu bilik Rabiatul Adawiyah, tangannya agak menggeletar, dia memulas tombol pintu itu. Entah mengapa kali ini dia gugup. Di! rasakannya bak membuka pintu neraka. Pintu bilik itu direnggangkan sed ikit. Peluh jantan membasahi dahinya. Debaran hatinya bertambah kuat. Mulutnya terlopong.
“Apakah lembaga putih itu?” bisik hati kecilnya.
Lembaga putih itu kelihatan menyembah bumi, seolah-olah sedang sujud di atas sebuah hamparan putih. Tunduk mencium bumi, yang menjadi asal-usul kejadian manusia.
Semangat yang datang bersamanya telah hilang diterbangkan taufan ketakutan. Kakinya seolah-olah dibelenggu rantai besi yang mencengkam buku lalinya. Tubuhnya kaku seolah-olah dibaluti kain kafan yang ketat ikatannya.
Lembaga itu, Rabiatul Adawiyah bangkit dari sujudnya penuh kehinaan dan ketakutan terhadap Khaliqnya. Dia menangis teresak-esak. Air matanya berguguran membasahi pipinya yang gebu, sekaligus membuka pintu hatinya untuk bertaubat. Dirasanya begitu kerdil dan hina di sisi Allah. Lalu diangkat tangannya menadah kerahmatan ar-Rahman sekaligus ar-Rahim terhadap hambanya yang mukminah.
“Ya Allah! Ya Rahman! Ya Rahim! Ya Jabbar! Ya Malikul Qud! dus! Sesungguhnya aku ini hamba yang lemah, tetapi engkau Al-Khaliq yang Maha Berkuasa. Aku tidak mempunyai apa-apa kudrat melainkan di atas keizinanMu jua. Kurniakanlah pertolongan kepadaku dalam menghadapi segala ujian-Mu. Sesungguhnya aku tidak mampu beribadat kepada-Mu dengan khushuk dalam keadaan ku dibelenggu ‘perhambaanku’ terhadap majikanku. Bukalah pintu hatinya untuk membebaskanku. Dan kurniakannlah baginya keampunan dan hidayah daripada-Mu serta kebaikan di dunia dan akhirat. Wahai Tuhan Yang Maha Mendengar permintaan hambanya. Kabulkanlah permintaanku, ya Allah.”
Dato’ Hasyim menggeletar. Fikirannya kelam dan kosong. Matanya berkunang-kunang. Dia hilang keseimbangan diri. Mujurlah yang tinggal secalit Cuma menghalangnya daripada terjatuh.
Dato’Hisyam tersandar di dinding. Akhirnya dia menggelongsor jatuh. Air mata yang tidak pernah menjenguk keluar, menghadirkan diri. Akan ditaburnya benih-benih keimanan dalam tanah hatinya. Akan dibebaskan Rabiatul A! dawiyah daripada cengkaman kuku besi dan penganiayaannya.
“Ku harap doaku termakbul,” cetus hati kecilnya.
Dipetik dari:
(MUSLIMAH-OKTOBER 1995)
Monday, June 09, 2003
PERANAN MUSLIMAH SEBAGAI DAIEAH
Penglibatan muslimah di dalam gerakan dakwah adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan lagi. Contoh yang dibuktikan oleh muslimah yang terdahulu seperti saiyidatina Khadijah binti Khuwailid sebagai manusia pertama yang menyahut seruan Iman dan Islam, saiyidatina Aisyah sebagai gedung ilmu dan pusat sumber maklumat, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab yang bermati-matian di medan Uhud dan Sumaiyah Ali Yaasir sebagai orang yang pertama mendapat gelaran syahid adalah bukti yang jelas bahawa peranan muslimah adalah jauh lebih luas dari hanya sekadar beroperasi di dalam rumahnya.
Fenomena yang mengancam pemikiran ramai manusia dalam memisahkan peranan muslimah di dalam medan perjuangan Islam adalah merupakan sebahagian dari gejala rawathib aljahiliyyah (karat-karat jahiliyyah) dan juga rawathib al isti'mariyah (karat-karat penjajahan) yang begitu dominan di seluruh pelusuk dunia Islam. Akibat dari gejala ini, salah faham terhadap Islam berlaku dan Islam ditohmah sebagai satu ajaran agama yang menindas dan memperlekehkan kaum wanita.
Sifat Islam sebagai Deen ul Fitrah (agama fitrah) yang datang untuk menjadi panduan kepada manusia samada lelaki mahupun perempuan adalah merupakan satu bukti yang nyata bahawa tanggungjawab sebagai khalifah Allah di atas muka bumi ini dipikul bersama oleh muslimin dan muslimat. Kebanyakan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al-Quran adalah bersifat umum yang merangkumi lelaki dan perempuan dan Islam tidak sama sekali pun membezakan antara mereka dari segi
tanggungjawab di atas muka bumi mahu pun pembalasan di akhirat nanti.
Setelah kita berusaha untuk membentuk diri kita dengan sesempurna mungkin untuk memikul tanggungjawab ini, setiap individu muslimah mestilah berusaha untuk memanggil ke arah perlaksanaan cita-cita Iman dan Islam tadi ke dalam realiti. Keindahan dan kesempurnaan Islam tidak akan terbukti kalau hanya setakat teori dan cita yang tidak dicernakan ke dalam waqi' (realiti). Tugas mencernakan ajaran Islam dan mengajak manusia bersama untuk beriman inilah yang dikenali sebagai da'wah.
Di dalam konteks da'wah, di sana ada 3 marhalah (peringkat) yang mesti dilalui untuk menjamin keberkesanan usaha yang dilakukan. Marhalah2 tersebut adalah marhalah ta'rif (pengenalan), marhalah takwin (pembentukan), marhalah tanfiz (perlaksanaan). Di sini kita akan cuba menghuraikan peranan muslimah sebagai da'ieah dalam mengisi ketiga-tiga marhalah tadi.
1. Marhalah Ta'rif
Yang dimaksudkan sebagai ta'rif adalah pengenalan dalam konteks penyediaan individu muslimah yang faham, beramal dengan apa yang difahaminya dan seterusnya berjihad dan beristiqamah pula dalam jihadnya. Untuk mengisi tuntutan ini maka hendaklah setiap muslimah tadi berusaha untuk:
1.1) Melahirkan insan yang bertaqwa kepada Allah azza wa jal dengan pembentukan iman dan aqidah yang benar. Proses ini berlaku apabila muslimah tadi berusaha dan bersungguh dalam ibadat dan hubungannya dengan Allah azza wa jal melalui ibadat dan ketaatan seperti yang telah diwajibkan.
1.2) Melahirkan insan yg faham akan konsep Iman dan Islam yg menyeluruh sepertimana firman Allah azza wa jal:
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam sepenuhnya dan janganlah kamu mengikut jejak-jejak syaitan". Surah Al Baqarah ayat 208.
1.3) Melahirkan insan yang memiliki as syakhsiyah al-islamiyyah (personaliti sebagai seorang Muslim) yg contoh ikutannya adalah Rasulullah SAW. Syakhsiyah ini adalah berbentuk kamil wa mutakamil (lengkap lagi melengkapi) dan setiap penda'wah hendaklah menyedari bahawa kita sekarang sedang membawa risalah dan setiap gerak geri kita adalah diperhatikan. Pastikanlah bahawa syakhsiyah kita tadi tidak akan menimbul fitnah terhadap Islam yang hendak kita bawa dan tarbiyyah yang sedang kita lalui.
2. Marhalah Takwin
Setelah menjalani proses ta'rif, muslimah hendaklah berpindah pula kepada marhalah takwin. Di dalam marhalah ini mad'u (mereka yang dida'wahkan) hendaklah dibawa mengenali konsep amal jamaie (beramal dan bergerak dalam bentuk jamaah). Islam tidak pernah dan tidak akan dapat ditegakkan oleh individu atau pengasingan diri dari masyarakat. Individu tadi
hendaklah memiliki dan mengujulkan intima' dan iltizam (commitment) yang menyeluruh terhadap Islam, da'wah dan harakah Islamiyyah (gerakan Islam).
Dalam peringkat ini hendaklah dibentuk sifat mas'uliyah fardiyah (tanggungjawab) yang tinggi. Masuliyah ini adalah masuliyah yang melahirkan sifat muraqabah (merasakan bahawa Allah sentiasa memerhatikannya) yang akan mengakibatkan individu tadi jujur pada dirinya, jujur pada Allah dan jujur pada perjuangan yang didokonginya. Kita tidak mahu dalam marhalah ini akan timbul permasalahan furu' (cabang) dibawa menjadi isu yang mengakibatkan kita menjadi golongan al
mutasaqitin (golongan yang gugur).
Dalam marhalah ini keujudan baitul muslim (rumah tangga Islam) sebagai nucleus terpenting dalam gerakan Islam adalah merupakan satu tuntutan. Muslimah berperanan untuk memastikan rumahtangganya hidup dalam suasana Islam dalam semua aspek. Dalam hubungan ini Muslimah berperanan untuk menjadi zaujah as solehah (isteri yang solehah), yang taat dan pendorong utama kepada perjuangan Islam suaminya dan juga berperanan
besar untuk memastikan tarbiyatul aulad (pendidikan anak-anaknya) berjalan dalam suasana yang Islamik.
3. Marhalah Tanfiz
Marhalah ini adalah marhalah yang terpenting yang merupakan ujian sebenar terhadap commitment seseorang muslimah terhadap pengisian dan kefahamannya terhadap Islam. Islam yang hanya sekadar diteorikan tidak akan mendatangkan sebarang hasil. Dalam marhalah ini, 3 unsur utama yang harus diperhatikan adalah:
3.1 Al Iman al 'amiq: Iman yang mendalam.
3.2. Tanzim ad daqiiq: Penyusunan organisasi gerak kerja yang teratur lagi menyeluruh.
3.3. Al amal mutawasil: Kerja dan komitmen yang dibuat berterusan dan bukan hanya kerana masa yang tertentu, kawan atau suasana.
Dalam marhalah ini, muslimah tidak lagi dapat menyendirikan diri untuk membawa risalah Islam. Panduan Al Quran dengan jelas memerintahkan pejuang Islam untuk berada dalam satu saf yang tersusun rapi:
"Sesungguhnya Allah mengasihi mereka yang berjuang di jalanNya dalam satu saf seolah-olah batu-bata yang tersusun rapi..." AS SAFF: 3.
Marhalah ini mengajak muslimah untuk keluar di tengah-tengah medan dan bersama mengangkat panji-panji Islam untuk ditegakkan di tengah-tengah kejahilan ummah.
Marhalah ini adalah marhalah muwajahah (berdepan) dengan realiti perjuangan da'wah yang akan mengajak kepada pengorbanan yang sebenarnya. Tidak ada di sana sebarang perjuangan yang tidak ada pengorbanan. Pengorbanan dalam da'wah adalah terlalu luas dan banyak bidangnya yang mengajak kita untuk mengurus dan mentadbir diri kita ini dengan sebaik-baik tanzim.
Penutup
Setelah kita melihat segala tuntutan ini dengan jelas menunjukkan bahawa tanggung jawab yang ada di bahu kita adalah lebih banyak dari kemampuan yang kita miliki, maka dengan demikian hadith Rasulullah SAW: "Ilzim jama'tul muslimin wa imamahum"; Lazimkanlah diri kamu dengan jemaah Islam dan Imam (pimpinan) mereka, adalah merupakan satu komitmen yang jelas mengajak kita semua untuk bersatu bersama jemaah.
Ikrar sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya kerana Allah akan hanya teruji kalau kita bersama dengan harakah Islamiyyah. Perjuangan yang tidak bersifat haraki adalah perjuangan yang tidak menepati contoh yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan cita-cita Islam tidak akan tercapai kalau kita hanya menyatakan bahawa Islam itu benar, indah dan sempurna tetapi kebenaran, keindahan dan kesempurnaan itu tidak kita jihadkan dan kita da'wahkan.
http://www.raudhah.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=236&newlang=mas
Penglibatan muslimah di dalam gerakan dakwah adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan lagi. Contoh yang dibuktikan oleh muslimah yang terdahulu seperti saiyidatina Khadijah binti Khuwailid sebagai manusia pertama yang menyahut seruan Iman dan Islam, saiyidatina Aisyah sebagai gedung ilmu dan pusat sumber maklumat, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab yang bermati-matian di medan Uhud dan Sumaiyah Ali Yaasir sebagai orang yang pertama mendapat gelaran syahid adalah bukti yang jelas bahawa peranan muslimah adalah jauh lebih luas dari hanya sekadar beroperasi di dalam rumahnya.
Fenomena yang mengancam pemikiran ramai manusia dalam memisahkan peranan muslimah di dalam medan perjuangan Islam adalah merupakan sebahagian dari gejala rawathib aljahiliyyah (karat-karat jahiliyyah) dan juga rawathib al isti'mariyah (karat-karat penjajahan) yang begitu dominan di seluruh pelusuk dunia Islam. Akibat dari gejala ini, salah faham terhadap Islam berlaku dan Islam ditohmah sebagai satu ajaran agama yang menindas dan memperlekehkan kaum wanita.
Sifat Islam sebagai Deen ul Fitrah (agama fitrah) yang datang untuk menjadi panduan kepada manusia samada lelaki mahupun perempuan adalah merupakan satu bukti yang nyata bahawa tanggungjawab sebagai khalifah Allah di atas muka bumi ini dipikul bersama oleh muslimin dan muslimat. Kebanyakan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al-Quran adalah bersifat umum yang merangkumi lelaki dan perempuan dan Islam tidak sama sekali pun membezakan antara mereka dari segi
tanggungjawab di atas muka bumi mahu pun pembalasan di akhirat nanti.
Setelah kita berusaha untuk membentuk diri kita dengan sesempurna mungkin untuk memikul tanggungjawab ini, setiap individu muslimah mestilah berusaha untuk memanggil ke arah perlaksanaan cita-cita Iman dan Islam tadi ke dalam realiti. Keindahan dan kesempurnaan Islam tidak akan terbukti kalau hanya setakat teori dan cita yang tidak dicernakan ke dalam waqi' (realiti). Tugas mencernakan ajaran Islam dan mengajak manusia bersama untuk beriman inilah yang dikenali sebagai da'wah.
Di dalam konteks da'wah, di sana ada 3 marhalah (peringkat) yang mesti dilalui untuk menjamin keberkesanan usaha yang dilakukan. Marhalah2 tersebut adalah marhalah ta'rif (pengenalan), marhalah takwin (pembentukan), marhalah tanfiz (perlaksanaan). Di sini kita akan cuba menghuraikan peranan muslimah sebagai da'ieah dalam mengisi ketiga-tiga marhalah tadi.
1. Marhalah Ta'rif
Yang dimaksudkan sebagai ta'rif adalah pengenalan dalam konteks penyediaan individu muslimah yang faham, beramal dengan apa yang difahaminya dan seterusnya berjihad dan beristiqamah pula dalam jihadnya. Untuk mengisi tuntutan ini maka hendaklah setiap muslimah tadi berusaha untuk:
1.1) Melahirkan insan yang bertaqwa kepada Allah azza wa jal dengan pembentukan iman dan aqidah yang benar. Proses ini berlaku apabila muslimah tadi berusaha dan bersungguh dalam ibadat dan hubungannya dengan Allah azza wa jal melalui ibadat dan ketaatan seperti yang telah diwajibkan.
1.2) Melahirkan insan yg faham akan konsep Iman dan Islam yg menyeluruh sepertimana firman Allah azza wa jal:
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam sepenuhnya dan janganlah kamu mengikut jejak-jejak syaitan". Surah Al Baqarah ayat 208.
1.3) Melahirkan insan yang memiliki as syakhsiyah al-islamiyyah (personaliti sebagai seorang Muslim) yg contoh ikutannya adalah Rasulullah SAW. Syakhsiyah ini adalah berbentuk kamil wa mutakamil (lengkap lagi melengkapi) dan setiap penda'wah hendaklah menyedari bahawa kita sekarang sedang membawa risalah dan setiap gerak geri kita adalah diperhatikan. Pastikanlah bahawa syakhsiyah kita tadi tidak akan menimbul fitnah terhadap Islam yang hendak kita bawa dan tarbiyyah yang sedang kita lalui.
2. Marhalah Takwin
Setelah menjalani proses ta'rif, muslimah hendaklah berpindah pula kepada marhalah takwin. Di dalam marhalah ini mad'u (mereka yang dida'wahkan) hendaklah dibawa mengenali konsep amal jamaie (beramal dan bergerak dalam bentuk jamaah). Islam tidak pernah dan tidak akan dapat ditegakkan oleh individu atau pengasingan diri dari masyarakat. Individu tadi
hendaklah memiliki dan mengujulkan intima' dan iltizam (commitment) yang menyeluruh terhadap Islam, da'wah dan harakah Islamiyyah (gerakan Islam).
Dalam peringkat ini hendaklah dibentuk sifat mas'uliyah fardiyah (tanggungjawab) yang tinggi. Masuliyah ini adalah masuliyah yang melahirkan sifat muraqabah (merasakan bahawa Allah sentiasa memerhatikannya) yang akan mengakibatkan individu tadi jujur pada dirinya, jujur pada Allah dan jujur pada perjuangan yang didokonginya. Kita tidak mahu dalam marhalah ini akan timbul permasalahan furu' (cabang) dibawa menjadi isu yang mengakibatkan kita menjadi golongan al
mutasaqitin (golongan yang gugur).
Dalam marhalah ini keujudan baitul muslim (rumah tangga Islam) sebagai nucleus terpenting dalam gerakan Islam adalah merupakan satu tuntutan. Muslimah berperanan untuk memastikan rumahtangganya hidup dalam suasana Islam dalam semua aspek. Dalam hubungan ini Muslimah berperanan untuk menjadi zaujah as solehah (isteri yang solehah), yang taat dan pendorong utama kepada perjuangan Islam suaminya dan juga berperanan
besar untuk memastikan tarbiyatul aulad (pendidikan anak-anaknya) berjalan dalam suasana yang Islamik.
3. Marhalah Tanfiz
Marhalah ini adalah marhalah yang terpenting yang merupakan ujian sebenar terhadap commitment seseorang muslimah terhadap pengisian dan kefahamannya terhadap Islam. Islam yang hanya sekadar diteorikan tidak akan mendatangkan sebarang hasil. Dalam marhalah ini, 3 unsur utama yang harus diperhatikan adalah:
3.1 Al Iman al 'amiq: Iman yang mendalam.
3.2. Tanzim ad daqiiq: Penyusunan organisasi gerak kerja yang teratur lagi menyeluruh.
3.3. Al amal mutawasil: Kerja dan komitmen yang dibuat berterusan dan bukan hanya kerana masa yang tertentu, kawan atau suasana.
Dalam marhalah ini, muslimah tidak lagi dapat menyendirikan diri untuk membawa risalah Islam. Panduan Al Quran dengan jelas memerintahkan pejuang Islam untuk berada dalam satu saf yang tersusun rapi:
"Sesungguhnya Allah mengasihi mereka yang berjuang di jalanNya dalam satu saf seolah-olah batu-bata yang tersusun rapi..." AS SAFF: 3.
Marhalah ini mengajak muslimah untuk keluar di tengah-tengah medan dan bersama mengangkat panji-panji Islam untuk ditegakkan di tengah-tengah kejahilan ummah.
Marhalah ini adalah marhalah muwajahah (berdepan) dengan realiti perjuangan da'wah yang akan mengajak kepada pengorbanan yang sebenarnya. Tidak ada di sana sebarang perjuangan yang tidak ada pengorbanan. Pengorbanan dalam da'wah adalah terlalu luas dan banyak bidangnya yang mengajak kita untuk mengurus dan mentadbir diri kita ini dengan sebaik-baik tanzim.
Penutup
Setelah kita melihat segala tuntutan ini dengan jelas menunjukkan bahawa tanggung jawab yang ada di bahu kita adalah lebih banyak dari kemampuan yang kita miliki, maka dengan demikian hadith Rasulullah SAW: "Ilzim jama'tul muslimin wa imamahum"; Lazimkanlah diri kamu dengan jemaah Islam dan Imam (pimpinan) mereka, adalah merupakan satu komitmen yang jelas mengajak kita semua untuk bersatu bersama jemaah.
Ikrar sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya kerana Allah akan hanya teruji kalau kita bersama dengan harakah Islamiyyah. Perjuangan yang tidak bersifat haraki adalah perjuangan yang tidak menepati contoh yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan cita-cita Islam tidak akan tercapai kalau kita hanya menyatakan bahawa Islam itu benar, indah dan sempurna tetapi kebenaran, keindahan dan kesempurnaan itu tidak kita jihadkan dan kita da'wahkan.
http://www.raudhah.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=236&newlang=mas
Wednesday, June 04, 2003
Ucapan Dasar Presiden Alumni Hira’
Mesyuarat Agung Tahunan Ke – 6
Saudara pengerusi tetap, Dif-dif kehormat, Muallim Syukri Abdullah dan Muallimah Jasmin, wakil-wakil dari Alumni Sekolah Menengah Islam yang hadir, barisan MKT yang berusaha sepanjang waktu, ajk-ajk biro Alumni dan program-program alumni, ahli-ahli Alumni dan para pemerhati…
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh….
Berikat pada kata janji sebagai ahli alumni, hari ini kita dengan redha berhimpun untuk menjulang panji-panji ukhuwah dan aspirasi Islam. Tidak ada makna kehadiran kita jika tidak disusuli ungkapan takzeem dan tahmeed ke hadrat Allah yang telah membenarkan pertemuan jasad-jasad dan moga-moga, hati-hati pada hari ini.
Alhamdulillah…
Allahu Akbar…
Setahun lebih berlalu, masing-masing sibuk menongkah cabaran hidup. Setiap insan muslim tidak dapat lari dari tanggungjawab yang pelbagai. Sebagai seorang anak, penuntut, sahabat, pendidik, dan barangkali seorang suami atau isteri, ibu atau ayah, lebih-lebih lagi seorang hamba yang taat kepada tuhannya, kita punya kewajipan yang akan dipersoalkan. Kehadiran kita pada hari ini setidaknya menunjukkan tanggungjawab kita pula kepada persatuan kita yang masih merangkak. Terima kasih kepada anda semua. Selaku pimpinan alumni, kami mengucapkan jazakumullahu khairan kathira.
Anda Ukuran Kewibawaan Alumni
Pejam celik kita sudah mengendong bayi ke lapan persatuan kita. Alhamdulillah, ini tandanya, makin ramai yang menjadi duta bagi Hira’ dan makin bertambah ahli keluarga kita. Lapan generasi adalah suatu bilangan yang agak ramai. Kita bersyukur. Namun ini datang dengan tanggungjawab. Sepertimana tahun-tahun sudah, ujian utama kita adalah untuk mengikat anggota famili kita ini dengan suatu ikatan yang longgar tetapi amat dihiasi rasa ukhuwwah yang berpanjangan. Kerana akhirnya, nama Hira’ yang dibawa kemana-mana. Sekali anda berjaya, bawalah kami bersama anda. Jika anda kecundang di mana-mana, biarlah kami yang menarik anda keluar dari kegusaran itu. Dengan itu, akan terasa berkat hidup berjemaah unjuran para anbia’ dan awlia’ullah. Moga menjadi amalan kita.
Sekolah Tempat Kita Bertemu Dan Bermula
Rakan rakan Alumni, Ikhwah dan Akhawaat,
Sudah menjadi lumrah, kacang meninggalkan kulitnya, rama-rama meninggalkan kepompongnya dan hujan meresap ke dalam pasir lalu tidak meninggalkan apa apa kesan. Seorang pelajar di sekolah Hira’ juga sifatnya demikian. Akan terus berjuang dan bergerak maju kehadapan bagi menuntut ilmu dan mengenal dunia di sekelilingnya. Telah banyak yang dipelajari dan kesemua ini merupakan aset yang berharga untuk dikongsi. Namun adakah dia mudah lupa? Barangkali dia jadi kacang yang melupakan kulit, tempat dia berteduh empuk sekian lama? Tentu tidak…Lalu, kenapa tidak kita menoleh ke belakang dengan pandangan mata terima kasih mencari peluang dan ruang untuk kita jayakan segala impian yang belum lagi tercapai.
Dalam konteks ini, kita perlu pandang ke sekolah. Ia tempat kita bertemu dan bermulanya ukhuwwah dan putaran minda ligat kita. Tapi bukan pandangan fizikal semata, malah kita percaya, yang telah membentuk diri kita adalah keseluruhan Institusi Pendidikan Hira’(IPH) itu sendiri. Jadilah isi kacang, rama-rama, dan air hujan yang amat berguna kepada persekitaran terutama kepada pihak yang telah berjasa kepada kita. Maka kita akan jadi seorang muslim yang menjalankan tanggungjawabnya secara adil dan saksama. Itu tanda terima kasih yang boleh kita berikan.
Bersempena itu, Alumni kini amat memerlukan kesediaan kalian kerana sudah banyak permintaan yang bertalu-talu dari IPH dan rakan-rakan. Cuma tinggal komitmen dan upaya kita sahaja. Dengan kesediaan dan keberkesanan pengurusan saya yakin, kita dapat membantu.InsyaAllah.
Namun, apa yang telah ditunjukkan oleh sebahagian ahli kita, kita amat hargai. Akhir-akhir ini juga keterlibatan ahli dalam aktiviti IPH bertambah. Apa yang diharapkan penambahan ini berterusan dari segi kuantiti dan kualiti. Penglibatan dalam Jawatankuasa Pembangunan dan Kutipan Derma (JkPKD) dan aktiviti-aktiviti yang disusun merupakan contoh dan permulaan yang baik. Kepada AJK dan ahli yang terlibat, teruskan usaha murni kalian, kepada yang belum terlibat, nantikan panggilan dari kami. Kita berharap agar keadaan ini dapat diperbaiki, lebih-lebih lagi apabila individu-individu dalam IPH sendiri yang menaruh keyakinan pada kita. Mudah-mudahan suatu perkongsian yang menguntungkan dapat dibentuk. Antara projek kutipan dana yang akan memerlukan sumbangan tenaga ahli termasuklah projek CD, konsert amal dan marathon amal.
Memperkemas Barisan (saf)
Rakan rakan Alumni, Ikhwah dan Akhawaat,
Tentunya kita akan terus belajar. Dan apabila kita tersilap langkah, kita mengenalpasti masalah seterusnya cuba mengatasi halangan tersebut. Sistem komunikasi yang baik dan ukhuwah yang mantap merupakan aset yang terpenting dalam organisasi. Kesungguhan ahli untuk sentiasa memperbaiki dirinya juga merupakan suatu yang amat berguna. Berguna untuk diriya dan untuk persatuannya.
Dalam soal ini, yakni tarbiyah dan pembinaan diri, carilah apa sahaja wadah dan peluang yang dapat membantu diri anda demi menjadi seorang muslim total yang akhirnya peka dan sensitif terhadap masyarakat sekelilingnya, seterusnya berbakti dalam kapasitinya yang termampu. Namun hakikat dalam nak beramal dan berbakti, banyak yang menghalang. Boleh jadi yang menghalang itu dari luar diri kita, boleh jadi dari dalam. Jika ia dari luar, maka perancangan dapat mengatasinya. Kalau ianya dari dalam, maka itu merbahaya. Ia akan makan masa….Tapi ia amat perlu kerana tindakan yang diambil dengan sebuah keyakinan dan tidak ke-terikutan akan membuahkan hasil yang lebih baik.
Bak kata seorang sahabat saya, ‘Dunia teori segalanya sempurna, Dunia realiti serba serbi tak kena’. Itu memang benar. Cabaran hari ini terlalu berat yang menyebabkan kita perlu bekerja 200 peratus kali ganda usaha bagi memintas kerosakan yang menular dalam masyarakat kita. Bagaimana dan di mana? Itu untuk anda putuskan. Alumni kita boleh jadi salah satu dalam seribu.
Yang penting, kita perlu yakin bahawa barisan yang hendak diperkukuh ini, sudah ada merata di mana-mana. Ia tidak satu. Ia tidak kecil. Tetapi dia berada bersepah-sepah tanpa ada yang mengikat mereka. Barisan (saf) orang-orang Islam itu perlukan agen-agen untuk menghubungkan mereka. Tuhan begitu penyayang dan adil lalu mencampakkan kebaikan dalam diri muslimin muslimat. Adalah sebuah tugas yang murni untuk kita bersama dengan orang yang nak melakukan kebaikan dan pembaikan di atas muka bumi ini. Juga adalah sebuah kerugian untuk anda menyimpan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada anda lalu tidak diguna dan dikongsi. Kepakaran dan ilmu anda amat diperlukan diluar sana. Jadilah agen-agen penghubung yang memberi penawar kepada ummat ini.
Dalam barisan yang memanjang, dan terus diperkemas.….
Berjalan dan bermusafirlah…..
Jangan pula terlupa….Lemparkanlah senyuman ‘rahmatan lil aalameen’
Ia sunnah nabi.
Khitaaman
Di penghujung bicara, saya memohon maaf di atas segala kelemahan diri saya. Ampun dan maaf juga saya pinta bagi pihak teman-teman anda, AJK yang terlibat secara langsung dalam menggerakkan Alumni selama ini. Sesungguhnya, kami akan terus cuba untuk bertindak sebaiknya atas nama persatuan kita ini. Moga-moga mahabbah yang dibentuk akan menepis segala bentuk perasaan buruk sangka yang dengan mudah sekali menular.
Jutaan terima kasih kepada pengarah dan AJK AGM tahun ini, MKT sesi ini dan sesi-sesi yang lepas di atas komitmen anda. Sungguh saya takjub dengan kesabaran anda dengan kerenah saya ini!! Kepada yang hadir, semuanya, Inni uhibbukum Fillah. Juga yang telah menyokong Alumni ini dari balik tabir dan tidak langsung, alfu syukrin. Tidak dilupakan dan perlu disebut di sini, saudara pengerusi tetap yang tidak dapat hadir pada hari ini, akhi Ubaida Othman yang juga pengasas dan moderator kepada mailing-list Alumni yang sudah bertahan hampir 5 tahun. Usaha-usaha seperti inilah menjadi kebanggaan kita bersama.
Apa yang penting adalah kita tidak memutuskan komunikasi di antara kita. Tanpa bantuan dari kalian, usaha untuk menyebarkan maklumat dan menjalankan aktiviti agak sukar. Maka gunakanlah kekuatan ‘batch-batch’ yang ada demi memudahkan urusan dalam persatuan. Ini amat menjimat kos dan tenaga kerana kita sama-sama tahu akan keterikatan ‘batch’ yang amat positif.
Dengan itu, kita bertemu di AGM akan datang dengan suasana yang lebih bersemangat dengan pemilihan tampuk pimpinan yang baru... Wassalamualaykum.
Khulasah Unjuran tahun ini
• Memperkukuh prasarana Alumni dan memperbaiki komunikasi
• Menyumbang tenaga untuk IPH dan aktivitinya dengan lebih serius.
• Memperhebatkan kutipan Dana bagi Alumni
MUADZ DZULKEFLY
PRESIDEN ALUMNI HIRA’
SESI 2002-2004
KLANG
Mesyuarat Agung Tahunan Ke – 6
Saudara pengerusi tetap, Dif-dif kehormat, Muallim Syukri Abdullah dan Muallimah Jasmin, wakil-wakil dari Alumni Sekolah Menengah Islam yang hadir, barisan MKT yang berusaha sepanjang waktu, ajk-ajk biro Alumni dan program-program alumni, ahli-ahli Alumni dan para pemerhati…
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh….
Berikat pada kata janji sebagai ahli alumni, hari ini kita dengan redha berhimpun untuk menjulang panji-panji ukhuwah dan aspirasi Islam. Tidak ada makna kehadiran kita jika tidak disusuli ungkapan takzeem dan tahmeed ke hadrat Allah yang telah membenarkan pertemuan jasad-jasad dan moga-moga, hati-hati pada hari ini.
Alhamdulillah…
Allahu Akbar…
Setahun lebih berlalu, masing-masing sibuk menongkah cabaran hidup. Setiap insan muslim tidak dapat lari dari tanggungjawab yang pelbagai. Sebagai seorang anak, penuntut, sahabat, pendidik, dan barangkali seorang suami atau isteri, ibu atau ayah, lebih-lebih lagi seorang hamba yang taat kepada tuhannya, kita punya kewajipan yang akan dipersoalkan. Kehadiran kita pada hari ini setidaknya menunjukkan tanggungjawab kita pula kepada persatuan kita yang masih merangkak. Terima kasih kepada anda semua. Selaku pimpinan alumni, kami mengucapkan jazakumullahu khairan kathira.
Anda Ukuran Kewibawaan Alumni
Pejam celik kita sudah mengendong bayi ke lapan persatuan kita. Alhamdulillah, ini tandanya, makin ramai yang menjadi duta bagi Hira’ dan makin bertambah ahli keluarga kita. Lapan generasi adalah suatu bilangan yang agak ramai. Kita bersyukur. Namun ini datang dengan tanggungjawab. Sepertimana tahun-tahun sudah, ujian utama kita adalah untuk mengikat anggota famili kita ini dengan suatu ikatan yang longgar tetapi amat dihiasi rasa ukhuwwah yang berpanjangan. Kerana akhirnya, nama Hira’ yang dibawa kemana-mana. Sekali anda berjaya, bawalah kami bersama anda. Jika anda kecundang di mana-mana, biarlah kami yang menarik anda keluar dari kegusaran itu. Dengan itu, akan terasa berkat hidup berjemaah unjuran para anbia’ dan awlia’ullah. Moga menjadi amalan kita.
Sekolah Tempat Kita Bertemu Dan Bermula
Rakan rakan Alumni, Ikhwah dan Akhawaat,
Sudah menjadi lumrah, kacang meninggalkan kulitnya, rama-rama meninggalkan kepompongnya dan hujan meresap ke dalam pasir lalu tidak meninggalkan apa apa kesan. Seorang pelajar di sekolah Hira’ juga sifatnya demikian. Akan terus berjuang dan bergerak maju kehadapan bagi menuntut ilmu dan mengenal dunia di sekelilingnya. Telah banyak yang dipelajari dan kesemua ini merupakan aset yang berharga untuk dikongsi. Namun adakah dia mudah lupa? Barangkali dia jadi kacang yang melupakan kulit, tempat dia berteduh empuk sekian lama? Tentu tidak…Lalu, kenapa tidak kita menoleh ke belakang dengan pandangan mata terima kasih mencari peluang dan ruang untuk kita jayakan segala impian yang belum lagi tercapai.
Dalam konteks ini, kita perlu pandang ke sekolah. Ia tempat kita bertemu dan bermulanya ukhuwwah dan putaran minda ligat kita. Tapi bukan pandangan fizikal semata, malah kita percaya, yang telah membentuk diri kita adalah keseluruhan Institusi Pendidikan Hira’(IPH) itu sendiri. Jadilah isi kacang, rama-rama, dan air hujan yang amat berguna kepada persekitaran terutama kepada pihak yang telah berjasa kepada kita. Maka kita akan jadi seorang muslim yang menjalankan tanggungjawabnya secara adil dan saksama. Itu tanda terima kasih yang boleh kita berikan.
Bersempena itu, Alumni kini amat memerlukan kesediaan kalian kerana sudah banyak permintaan yang bertalu-talu dari IPH dan rakan-rakan. Cuma tinggal komitmen dan upaya kita sahaja. Dengan kesediaan dan keberkesanan pengurusan saya yakin, kita dapat membantu.InsyaAllah.
Namun, apa yang telah ditunjukkan oleh sebahagian ahli kita, kita amat hargai. Akhir-akhir ini juga keterlibatan ahli dalam aktiviti IPH bertambah. Apa yang diharapkan penambahan ini berterusan dari segi kuantiti dan kualiti. Penglibatan dalam Jawatankuasa Pembangunan dan Kutipan Derma (JkPKD) dan aktiviti-aktiviti yang disusun merupakan contoh dan permulaan yang baik. Kepada AJK dan ahli yang terlibat, teruskan usaha murni kalian, kepada yang belum terlibat, nantikan panggilan dari kami. Kita berharap agar keadaan ini dapat diperbaiki, lebih-lebih lagi apabila individu-individu dalam IPH sendiri yang menaruh keyakinan pada kita. Mudah-mudahan suatu perkongsian yang menguntungkan dapat dibentuk. Antara projek kutipan dana yang akan memerlukan sumbangan tenaga ahli termasuklah projek CD, konsert amal dan marathon amal.
Memperkemas Barisan (saf)
Rakan rakan Alumni, Ikhwah dan Akhawaat,
Tentunya kita akan terus belajar. Dan apabila kita tersilap langkah, kita mengenalpasti masalah seterusnya cuba mengatasi halangan tersebut. Sistem komunikasi yang baik dan ukhuwah yang mantap merupakan aset yang terpenting dalam organisasi. Kesungguhan ahli untuk sentiasa memperbaiki dirinya juga merupakan suatu yang amat berguna. Berguna untuk diriya dan untuk persatuannya.
Dalam soal ini, yakni tarbiyah dan pembinaan diri, carilah apa sahaja wadah dan peluang yang dapat membantu diri anda demi menjadi seorang muslim total yang akhirnya peka dan sensitif terhadap masyarakat sekelilingnya, seterusnya berbakti dalam kapasitinya yang termampu. Namun hakikat dalam nak beramal dan berbakti, banyak yang menghalang. Boleh jadi yang menghalang itu dari luar diri kita, boleh jadi dari dalam. Jika ia dari luar, maka perancangan dapat mengatasinya. Kalau ianya dari dalam, maka itu merbahaya. Ia akan makan masa….Tapi ia amat perlu kerana tindakan yang diambil dengan sebuah keyakinan dan tidak ke-terikutan akan membuahkan hasil yang lebih baik.
Bak kata seorang sahabat saya, ‘Dunia teori segalanya sempurna, Dunia realiti serba serbi tak kena’. Itu memang benar. Cabaran hari ini terlalu berat yang menyebabkan kita perlu bekerja 200 peratus kali ganda usaha bagi memintas kerosakan yang menular dalam masyarakat kita. Bagaimana dan di mana? Itu untuk anda putuskan. Alumni kita boleh jadi salah satu dalam seribu.
Yang penting, kita perlu yakin bahawa barisan yang hendak diperkukuh ini, sudah ada merata di mana-mana. Ia tidak satu. Ia tidak kecil. Tetapi dia berada bersepah-sepah tanpa ada yang mengikat mereka. Barisan (saf) orang-orang Islam itu perlukan agen-agen untuk menghubungkan mereka. Tuhan begitu penyayang dan adil lalu mencampakkan kebaikan dalam diri muslimin muslimat. Adalah sebuah tugas yang murni untuk kita bersama dengan orang yang nak melakukan kebaikan dan pembaikan di atas muka bumi ini. Juga adalah sebuah kerugian untuk anda menyimpan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada anda lalu tidak diguna dan dikongsi. Kepakaran dan ilmu anda amat diperlukan diluar sana. Jadilah agen-agen penghubung yang memberi penawar kepada ummat ini.
Dalam barisan yang memanjang, dan terus diperkemas.….
Berjalan dan bermusafirlah…..
Jangan pula terlupa….Lemparkanlah senyuman ‘rahmatan lil aalameen’
Ia sunnah nabi.
Khitaaman
Di penghujung bicara, saya memohon maaf di atas segala kelemahan diri saya. Ampun dan maaf juga saya pinta bagi pihak teman-teman anda, AJK yang terlibat secara langsung dalam menggerakkan Alumni selama ini. Sesungguhnya, kami akan terus cuba untuk bertindak sebaiknya atas nama persatuan kita ini. Moga-moga mahabbah yang dibentuk akan menepis segala bentuk perasaan buruk sangka yang dengan mudah sekali menular.
Jutaan terima kasih kepada pengarah dan AJK AGM tahun ini, MKT sesi ini dan sesi-sesi yang lepas di atas komitmen anda. Sungguh saya takjub dengan kesabaran anda dengan kerenah saya ini!! Kepada yang hadir, semuanya, Inni uhibbukum Fillah. Juga yang telah menyokong Alumni ini dari balik tabir dan tidak langsung, alfu syukrin. Tidak dilupakan dan perlu disebut di sini, saudara pengerusi tetap yang tidak dapat hadir pada hari ini, akhi Ubaida Othman yang juga pengasas dan moderator kepada mailing-list Alumni yang sudah bertahan hampir 5 tahun. Usaha-usaha seperti inilah menjadi kebanggaan kita bersama.
Apa yang penting adalah kita tidak memutuskan komunikasi di antara kita. Tanpa bantuan dari kalian, usaha untuk menyebarkan maklumat dan menjalankan aktiviti agak sukar. Maka gunakanlah kekuatan ‘batch-batch’ yang ada demi memudahkan urusan dalam persatuan. Ini amat menjimat kos dan tenaga kerana kita sama-sama tahu akan keterikatan ‘batch’ yang amat positif.
Dengan itu, kita bertemu di AGM akan datang dengan suasana yang lebih bersemangat dengan pemilihan tampuk pimpinan yang baru... Wassalamualaykum.
Khulasah Unjuran tahun ini
• Memperkukuh prasarana Alumni dan memperbaiki komunikasi
• Menyumbang tenaga untuk IPH dan aktivitinya dengan lebih serius.
• Memperhebatkan kutipan Dana bagi Alumni
MUADZ DZULKEFLY
PRESIDEN ALUMNI HIRA’
SESI 2002-2004
KLANG