Friday, March 31, 2006



A Lesson From Heaven

All the turmoil and unrest in the world tells us as if the earth is coming to an end. Rules are meant to be broken, or so they say. And so order ceases to exist, and even if it were to exist, it only remains to the silent majority - the lay people. But for the world leaders, mishandling of wealth is rampant in it's own subtle ways. Our small hearts question how when someone acquires a high position, their wealth soars disproportionately in comparison with their own meager 'on paper salary'.

Well, that is how the earth operates sighs the disappointed majority. And that's how it was meant to be prides the wealthy minority.

The good news is, they are wrong. The universe was not designed to be chaotic and without rules. During the night, try and take a stroll outside your homes and take a look at the amazing skies. The stars glitter everywhere as if it were shining dusts scattered by an unknown hand. The truth is, the whole galaxy operates in an extremely systematic way. Their movements around the stars are very timely and not going beyond the designated path or orbit. If a planet chooses to stray from it's path the universe will definitely come to a disaster. For billions of years, that was always the practice of these superb creations. And for billion of years, they lived together in harmony.

But man's egos are much bigger than what the world could carry. We always deviate from the right path and in the end plan for our own destruction. Maybe the time has come for us to start taking lessons from the beautiful heavens.

Tuesday, March 14, 2006

Urgensi Insha Allah



(Petikan dari buku Membina Ruh Baru - Musyaffa Abdurrahim)

Pada suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. sedang mengajar kaumnya timbul sebuah pertanyaan, "Siapakah yang paling alim antara kalian?" Nabi Musa a.s. menjawab, "Saya". Atas jawaban tersebut, Allah s.w.t. menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah s.w.t. yang lebih alim.

Singkat cerita, Nabi Musa a.s. ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa a.s., dengan syarat: Nabi Musa a.s. tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.

Hamba Allah itu, yang tidak lain adalah Nabi Khidhir a.s. berkata, "Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar".

Spontan Nabi Musa a.s. menjawab, "Insha Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar."Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s. mengucapkan Insha Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan Nabi Musa a.s. kurang tawadhu'. Mengapa? Sebab, ia mengatakan, ".... saya seorang yang sabar."Beliau tidak mengatakan, "... saya sebahagian dari orang-orang yang bersabar." Ertinya, jawaban Nabi Musa a.s. dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.

Kerana sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahawa Nabi Musa a.s. tidak bisa sabar dalam berguru kepada Nabi Khidhir a.s.. Mengapa? Sebab setiap Nabi Khidhir a.s. berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya. (kisah lengkapnya bisa dilihat di QS. Al Kahfi: 60-82)

Rasulullah s.a.w. bersabda, "Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa a.s. bersabar, nescaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya." (HR Bukhari dan Muslim)

Jawaban Nabiyullah Musa a.s. berbeza dengan jawaban Nabiyullah Ismail a.s. ketika ayahandanya (Nabiyullah Ibrahim a.s.) berkata kepada sang putra yang dicintai itu, "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!"

Ia menjawab, "Hai bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insha Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS As-Shaffat:102)

Jawaban Nabiyullah Ismail ini mengandung makna bahawa, di dunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insha Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terbukti bahawa Nabi Ismail a.s. mampu bersabar.

Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita semua sebagai hamba-hambaNya yang selalu mengembalikan sesuatu kepada mashi'ah Allah s.w.t, menjadi manusia-manusia yang tawadhu' dan sabar. Amin!

Thursday, March 09, 2006

Hua As-Sabbaaq

Di suatu pagi yang hening, usai solat subuh, keberkatan sinar nubuwwah dirasai.
Rasulullah s.a.w menghadapkan mukanya ke para sahabat.

"Siapakah yang telah mengiringi jenazah?"
Hati Umar r.a. berbisik, mana mungkin ada orang yang sempat. Hari masih terlalu awal.
Abu Bakar r.a. mengatakan, "Saya dah lakukan ya Rasulullah"

"Siapakah yang telah memberikan sedeqah?"
Sahabat-sahabat lain menyepi.
"Saya ya Rasulullah", kata Abu Bakar lagi.

"Siapakah yang telah menziarahi orang sakit pada pagi ini?"
"Saya ya Rasulullah", sekali lagi Abu Bakar mengungguli yang lain.

++++++++++++++

Sewaktu Ali r.a. diminta menerangkan mengenai Abu Bakar r.a. beliau mengatakan "Hua As-Sabbaaq".
Dialah yang mendahului yang lain.
Dialah yang gemilang.
Dialah yang terbilang.
Dialah yang proaktif.

"Hua As-Sabbaaq"