Memahami Keganjilan Aminah Wadud
Oleh: Adian Husaini
“Khâlif, tu’raf!”.Bersikap Ganjillah kamu, kamu akan terkenal, begitu kata pepatah Arab. Kalimat itu yang kini dipakai Aminah Wadud, termasuk kawan-kawannya di Indonesia! Baca CAP Adian Husaini ke-94.
Pada Hari Jumaat, 18 Mac 2005, dunia Islam dikejutkan oleh sebuah peristiwa di sebuah gereja di Amerika Serikat. Ketika itu, seorang tokoh Islam Liberal yang dikenal aktif memperjuangkan hak sama rata gender (gender equality), bernama Prof. Dr. Aminah Wadud, menjadi imam dan khatib untuk salat Jumaat.
Jemaahhnya berjumlah sekitar 100 orang bercampur laki-laki dan wanita. Dari gambar-gambar yang disiarkan oleh media massa terlihat barisan shaf Solat bercampur aduk antara laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita sejajar. Disamping itu, muazinnya seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab, tetapi dia ikut salat Jumaat juga. Para ulama di dunia Islam, seperti Syaikhul Azhar dan Yusuf Qaradhawi, telah memberikan kritik keras terhadap peristiwa tersebut.
Majma’ al-Fiqhi al-Islami (MFI), badan internasional dalam hukum Fiqh Islam, mengecam keras tindakan Aminah Wadud, yang merupakan seorang profesor bidang kajian Islam di Virginia Commonhealth University. Lokasi salat Jumaat itu tepatnya di Synod House, gereja Cathedral St. John, di Manhattan, New York.
MFI yang bernaung di bawah OIC ini menilai apa yang dilakukan Wadud ini sebagai bid’ah yang menyesatkan dan musibah. Itu tercermin dengan majunya seorang wanita untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, menjadi khatib dan Imam untuk solat Jumaat, dengan jemaah campuran laki-laki dan wanita, dan dilaksanakan di sebuah Cathederal.
Pernyataan resmi yang dikeluarkan MFI, menjelaskan bahawa Wadud telah melakukan pelanggaran hukum-hukum syariat dari beberapa segi; iaitu khutbah Jumaat oleh wanita, imam wanita atas jemaah lelaki, jemaah wanita dan lelaki yang berdiri sejajar dan berdampingan serta terjadinya ikhtilath (campur-gaul antara laki-laki dan wanita) dalam ibadah. Ahli Fiqih Islam sepakat bahawa solat Jumaat hanya diwajibkan atas kaum laki-laki.
Selain itu, seperti sudah maklum, kedududukan wanita dalam solat seharusnya di belakang laki-laki. Berdasarkan berbagai nash dalam hadits Rasulullah Saw, maka MFI memutuskan, bahawa salat Wadud dan kawan-kawannya tidak memenuhi syarat dan mereka harus menggantinya dengan solat Zuhor.
Tindakan Wadud sudah banyak mencetuskan kecaman dari berbagai pihak. Sudah pasti, banyak juga yang kagum dan memuji kenekadan Wadud dalam menentang tradisi yang sudah dianggap mapan selama 1400 tahun lebih. Khabarnya, di Indonesia sudah ada rencana sebahagian kaum wanita untuk mengikuti jejak Wadud. Wakil Pengarah Pusat Kebudayaan Islam di New York, Muhammad Syamsi Ali, misalnya, juga menyatakan bahawa ibadah Jumaat versi Wadud itu tidak sah. Yusuf Qaradhawi juga mengecam keras tindakan Wadud, dan menegaskan bahawa solat Jumaat versi Wadud itu adalah bid'ah yang munkar.
Begitulah pendapat berbagai ulama dan lembaga Islam antarabangas. Kita sedia maklum akan hal itu. Secara dalil-dalil syar’i, tindakan “Wadud and the gang” memang teruk. Namun, tentu saja, bagi Wadud dan kawan-kawan, berbagai hujah fiqih yang diajukan oleh para ulama terkemuka itu tidak mereka pedulikan. Sebab, mereka sudah kemaruk dengan fahaman‘gender equality’ ala Barat-sekular, bahawa laki-laki dan wanita harus dipandang sejajar, tidak boleh ada manusia yang diberi status hak istimewa atas dasar jenis kelamin. Yang menjadi dasar adalah soal kemampuan. Jika wanita lebih bagus bacaan al-Qur’annya, maka ia lebih berhak menjadi imam, dibandingkan laki-laki yang kurang bagus bacaan imamnya. Ketua rumah tangga tidak didasarkan pada jenis kelamin —yakni semestinya laki-laki— tetapi berdasarkan kemampuannya. Mungkin sahaja wanita menjadi kepala rumah tangga, jika dia lebih mampu berbanding suaminya.
Begitu juga dalam soal khatib, baik khatib Jumaat maupun salat Id. Dasar ideologinya sama: ‘gender equality’.
Natijah dari cara berpikir ini sangat jauh dan akan membongkar sistem metodologi penetapan hukum Islam. Hujah Amina Wadud dan kawan-kawan tidak akan ‘bertemu’ dengan argumentasi para ulama yang berasaskan dalilnya kepada kaedah-kaedah dasar ushul fiqh. Sebab, bagi Amina Wadud, kaedah ushul fiqih itu pun mereka mendakwa hasil ciptaan laki-laki yang diciptakan untuk melestarikan hegemoni laki-laki atas wanita. Mereka sudah dipengaruhi fahaman bahawa fiqih adalah ciptaan laki-laki. Sebuah buku berjudul Rekonstruksi Fiqh Perempuan (1996:9) menulis kata-kata sebagai berikut: “Konstruksi fiqh yang sarat dengan norma dan doktrin yang androsentrik di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa permasalahan zaman tertentu dirasakan menghambat realisasi potensi kaum perempuan dalam arus transformasi.”
Sebagai contoh, jika dikatakan, bahawa jika wanita bertindak sebagai imam, maka laki-laki di belakangnya akan bisa terganggu salatnya, maka mereka akan menjawab, bahawa wanita pun juga bisa tergoda oleh laki-laki. Bukan hanya laki-laki yang bisa tergoda oleh wanita. Jika dikatakan, bahawa suara azan wanita bisa mengganggu syahwat laki-laki, maka mereka akan berargumen bahawa suara laki-laki juga bisa membangkitkan syahwat wanita. Dan seterusnya. Maka, Wadud membuat lolongan untuk mencampuradukkan antara laki-laki dan wanita dalam salat Jumaat versi dia sendiri. Mungkin gaya salat seperti ini akan dijadikan model oleh orang-orang yang memang ingin bercampur aduk antar laki-laki dengan wanita.
Maka, dalam mengambil sikap terhadap kes Amina Wadud, sebaiknya kita tidak hanya melihatnya dalam aspek fiqih semata, tetapi juga aspek worldview (pandangan hidup) dan epistemologi (metodologi ilmu). Bagaimana Wadud sampai kepada kesimpulan semacam itu. Bahkan, perlu juga dilihat pada aspek psikologi. Apakah tindakan itu ada kaitannya dengan ‘mental minder’ yang bisa menjangkiti kaum kulit hitam di AS? Apa untungnya bagi Amina Wadud melakukan tindakan ganjil dan "waton suloyo" alias (janji berlainan) dengan kaum Muslim pada umumnya?
Sebahagian manusia akan memberi gelaran kepada Amina Wadud sebagai seorang yang ‘progressif’ (dari bahasa Latin: progredior, artinya: saya maju kedepan). Sebab, A. Wadud dinilai berani mendobrak tradisi lama yang sudah berusia 1400 tahun. Luar biasa! Dia seorang progresif, bukan konservatif, bukan orthodoks. Bukan orang kuno lagi, tetapi sudah maju ke depan, sudah progressif. Begitu biasanya gelaran yang diberikan kepada orang seperti Aminah Wadud.
Sebenarnya, jika direnungkan lebih mendalam, Aminah Wadud bukan seorang progressif, tetapi justeru dia seorang yang sangat konservatif. Kenapa? Kerana dia sebenarnya telah hanyut dan menghambakan dirinya pada ideologi global yang sedang dominan (hegemonik) saat ini, iaitu ideologi gender equality. Cara pandang dia terhadap laki-laki dan wanita adalah cara pandang yang sudah terhegemoni oleh wacana gender sekular, sudah tidak merdeka lagi sebagai seorang Muslim. Wadud bukan seorang yang progressif, dalam arti, dia tidak berani berpikir jauh ke depan, melintasi batas-batas hegemoni ideologi dominan saat ini, yaitu ideologi gender equality. Dia gagal untuk menilai hakikat dan hikmah hukum-hukum Islam yang memang banyak memberikan perbezaan tindakan terhadap laki-laki dan wanita.
Kerana syariat Islam bersumber kepada wahyu Ilahi, maka prinsip dasar Islam adalah menekankan kepada keyakinan kepada keagungan dan keadilan Allah dalam ketentuan-ketentuan hukum-Nya. Allah Maha Tahu atas makhluk-Nya. Lebih Tahu daripada si makhluk itu sendiri. Bagaimana pun, laki-laki memang berbeza dengan wanita. Biarkanlah mereka dalam perbezaannya.
Kita lihat, bagaimana cara berpikir Amina Wadud bersifat tidak tetap dan hanya menjurus ke bahagian-bahagian yang dianggap menguntungkan jenisnya (wanita).
Sebagai contoh, A. Wadud membangkang kerana tidak diperbolehkan menjadi imam dan khatib salat Jumaat. Lalu ia buat ibadah Jumaat, versinya sendiri. Ia seperti ingin menunjukkan, bahawa wanita juga mampu menjadi khatib dan imam Jumaat, seperti halnya laki-laki. Dicarilah ‘dalil-dalil pinggiran’ untuk menjustifikasi perbuatannya. Ia memprotes pembatasan wanita dalam soal salat Jumaat. Tetapi, dia tidak protes, mengapa wanita tidak boleh melaksanakan salat saat haid atau nifas. Harusnya, sesuai dengan perkembangan teknologi pengobatan, wanita tidak perlu lagi dilarang meninggalkan salat ketika haid atau nifas. Bukankah itu penghinaan kepada kaum wanita, kerana wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah? Seolah-olah wanita dianggap berhak beribadah kerana haid.
A. Wadud harusnya mengajak kaumnya ramai-ramai protes terhadap hal-hal semacam itu dan mendemonstrasikan keberaniannya untuk masuk masjid dan salat beramai-ramai waktu mereka sedang haid. Kan, sudah banyak alat-alat yang mampu mencegah tercecernya darah haid atau nifas ke lantai masjid. Begitu juga, mestinya mereka protes, dengan larangan wanita untuk puasa waktu haid dan nifas. Dengan menggunakan hermeneutika yang memasukkan unsur sejarah dan sosio-kultural dalam analisis teks-teks hukum, mereka bisa beragumen, bahawa dalil-dalil yang melarang wanita masuk masjid atau solat di waktu haid dan nifas diturunkan di zaman kuno, ketika manusia belum mampu memproduksi alat pembalut wanita.
Kita boleh melihat lebih jauh bagaimana konservatifme A. Wadud dan para aktivis gender dalam berbagai kes. Mereka hanya tertawan kepada ideologi yang sedang dominan, yang sedang “ngetrend” di Barat dan dunia global. Mereka tidak berani berpikir jernih dan melihat jauh ke depan, bagaimana konsep ‘gender equality’ itu sendiri sebenarnya sebuah konsep yang bermasalah dan perlu dikritik. Cara pandang terhadap ‘gender’, konsep hubungan laki-laki dan wanita ala Barat-sekular itulah yang perlu ditelaah dengan cermat. Sebab, banyak perbezaan antara konsep ‘equality’ Barat dan Islam.
Memang ada sebuah hadits Rasulullah Saw yang menyatakan:
“Innama al-nisa’u syaqa’iqu al-rijal.” (Sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum laki-laki). [HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i].
Maksudnya, secara prinsip, di hadapan Allah, tidak ada perbezaan antara laki-laki dan wanita. Mereka akan menerima pahala dari Allah, jika mereka menjalankan perintah dan larangan Allah. Jadi, dalam pandangan hidup Islam, konsep ‘equality’ dalam gender mengandung muatan atau dimensi ilahiyah. Maka, dalam pandangan Islam, martabat wanita yang mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik di rumah, tidak lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang berdemo di depan gedung DPR menolak keputusan pemerintah yang tidak adil dalam menaikkan harga BBM. Allah tidak menyia-nyiakan amal tiap manusia, baik laki-laki maupun wanita. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 195).
Dimensi ilahiyah dan ukhrawiyah (adanya pahala dan siksa) inilah yang tidak ada dalam pemahaman “gender equality” Barat-sekular. Maka, kaum sekular ini melihat aspek-aspek duniawi sebagai standar tinggi dan rendahnya martabat wanita. Mereka kemudian memandang perlu agar wanita mendapatkan nilai peratus tertentu sebagai anggota kabinet, anggota legislatif, dan berbagai jabatan duniawi lainnya. Sebab, bagi penganut ideologi ini, kedudukan-kedudukan wanita dalam lapangan duniawi seperti itu, dianggap sebagai kemuliaan bagi martabat wanita. Islam sendiri sangatlah jelas sikapnya dalam hal-hal seperti itu.
Islam tidak melarang wanita bekerja. Islam juga mengharuskan wanita mencari ilmu, sama dengan kewajiban laki-laki. Wanita boleh duduk dalam berbagai jabatan publik. Untuk menjadi kepada negara (khalifah), memang semua ulama mazhab bersepakat tidak mengizinkan. Bagi kaum feminis, larangan itu dianggap penghinaan terhadap wanita.
Sekali lagi, ini menyangkut worldview dan cara berpikir. Hingga sekarang, di AS saja belum pernah ada seorang wanita yang menjadi Presiden di sana. Bahkan, anggota parlemen wanita di Iran jauh lebih banyak dibandingkan dengan di AS. Dalam dunia Katolik, hingga kini, wanita tidak diizinkan menjadi pastor. Maka, agak aneh, jika katedral di Manhattan itu mengizinkan Aminah Wadud menjadi imam solat Jumaat.
Sepanjang sejarah Islam, kaum Muslim paham, bagaimana konsep ‘persamaan’ antara laki-laki dan wanita diterapkan. Rasulullah Saw sendiri sudah menjelaskan dan memberikan contoh, bagaimana Kaum Muslimin menerapkan konsep itu. Kaum Muslim faham, bahawa pemberian masa iddah bagi wanita selepas talak, bukanlah penghinaan kepada wanita —sebagaimana difahami oleh Siti Musdah Mulia dan kawab-kawan, sehingga mereka juga mengharuskan laki-laki punya iddah. Hak talak buat laki-laki juga bukan penistaan martabat bagi wanita. Begitu juga dengan penempatan wanita dalam saf salat di belakang laki-laki. Ini bukan penghinaan bagi wanita. Yang dinilai dalam solat adalah ketepatan syarat dan rukunnya serta kekhusyukan hati.
Sepanjang sejarah Islam, telah lahir ribuan ahli fiqh wanita. Sejumlah guru para imam mazhab dan ulama hadits, juga wanita. Seorang ahli fiqh wanita terbesar adalah Aisyah r.a. Pendapat beliau dalam fiqh tidak berbeza dengan pendapat para sahabat laki-laki. Para ulama Islam —baik laki-laki atau wanita— sepanjang sejarah, telah memahami konsep ‘equality’ dan ‘diskriminasi’ laki-laki dan wanita dalam Islam.
Mereka tidak memandang penempatan wanita di shaf belakang laki-laki sebagai satu bentuk penindasan wanita.
Jika waktu ini ada orang-orang seperti Aminah Wadud, Musdah Mulia, dan lain-lain, kita memahami, bahawa konsep mereka tentang ‘equality’ memang bukan berangkat dari worldview Islam. Mereka mengadopsi konsep worldview lain yang kemudian digunakan untuk meneropong Islam. Wajar jika hasilnyakacau. Lihat saja, hingga kini Wadud belum menghasilkan sebuah cara pandang keilmuan yang sistematik dalam metodologi pengambilan (istinbath) hukum Islam. Bisa diduga, Wadud tidak akan konsisten dengan gagasannya. Kita lihat, apakah setiap hari Jumaat dia menjalankan ibadah salat Jumaat, sesuai dengan gagasannya itu. Mungkin Profesor satu ini punya pikiran: “Kalau laki-laki bisa khutbah Jumaat, masa saya tidak boleh? Jadi, ia ingin menunjukkan, bahawa dia juga boleh khutbah dan jadi imam, seperti laki-laki.”
Kalau cara berpikir ‘dendam’ dan ‘iri’ semacam itu yang digunakan, maka kita siap-siap saja menunggu berbagai kejutan dari Aminah Wadud, hingga mungkin saja suatu ketika dia juga ingin menunjukkan, “Kalau laki-laki mampu beristeri lebih dari satu, saya juga mampu bersuami lebih dari satu.” Untuk mengokohkan citra dirinya sebagai pejuang ‘gender equality’ Wadud dan kawan-kawan bisa mengusulkan agar dunia menghapus semua diskriminasi antara laki-laki wanita, sehingga tidak ada lagi perbezaan kategori laki-laki dan wanita dalam bidang olah raga; tidak ada lagi pembezaan toilet laki-laki dan wanita; tidak ada lagi hak cuti haid dan cuti melahirkan untuk wanita. Sebab, semua itu adalah bentuk diskriminasi dan pelecehan wanita. Di zaman edan, hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya, bisa saja terjadi. Jika Wadud menolak diskriminasi gender dalam soal ibadah, tetapi menerima diskriminasi gender dalam bidang olah raga dan ‘pertoiletan’, maka kita patut menelaah dengan cermat, bahawa kasus
salat Jumaat Wadud di Manhattan ini sebenarnya bukan soal fiqih semata, tetapi lebih kepada masalah pola pikir dan kejiwaan.
Pepatah Arab menyatakan: “khâlif, tu’raf!”, (nyelenehlah kamu, maka kamu akan terkenal). Atau, dalam istilah Latin: “esto alius, notus es!”. Ali ra bahkan pernah mengatakan, bul mâ’a zam-zam (kencingilah air zam-zam). Wallahu a’lam. (KL, 24 Mac 2005). [Hidayatullah.com]
Sesuatu yang pasti dan Pasti dilalui adalah
Kematian. Setiap patah perkataan yang kita tulis
Ada yang menghisabnya.
Ahmus
No comments:
Post a Comment