Saya, Mbak Oi dan A’ Yudi: Sebuah Kisah Cinta
Pertama kali saya mengenal Mbak Oi, muslimah sederhana itu tahun 1992. Waktu itu saya sedang berkeliling mencari tempat kost di sekitar Universitas Indonesia. Kemudian sampailah saya di tempat kost seorang teman. Di sana saya berkenalan dengan mbak Oi.
“Di tempat saya masih ada kamar. Rumah petak sih tapi nyaman. Kalau mau Helvy bisa tinggal bersama kami,” katanya ramah seraya memberitahu bahwa ada seorang muslimah lain yang juga tinggal bersamanya.
Saya segera menyukai Mbak Oi karena keramahan dan ketulusan yang terpancar di matanya. Saya pun mengangguk. Keesokan harinya saya telah pindah ke tempat kost Mbak Oi.
Dalam waktu beberapa hari saja, tiba-tiba saya merasa menemukan seorang kakak perempuan yang sangat menyayangi saya. Mbak Oi banyak mengajari saya tentang kehidupan tanpa pernah menceramahi. Setiap malam kami bangun bersama untuk munajat kepadaNya, dalam gelap. Setelah itu sambil tilawah Qur’an, Mbak Oi setia menemani saya duduk berlama-lama, mengetik dengan mesin tik tua yang saya bawa dari rumah hingga subuh menjelang.
Waktu itu beberapa cerpen saya sudah dimuat di beberapa media. Saya pun sudah bergabung di sebuah majalah Islam bernama Annida dan sering menulis di majalah tersebut dengan nama Al Hamasah. Namun saya belum menjadi penulis yang produktif, apalagi dikenal. Dan perempuan yang saya panggil Mbak Oi itu tak pernah berhenti menyemangati saya.
“Mbak Oi yakin, melihat usaha Helvy, suatu hari Helvy akan menjadi penulis yang dikenal masyarakat luas. Percaya deh, Dik. Yang penting tetap istiqomah ya!”
“Insya Allah, Mbak. Tapi menurut Mbak Oi nama pena Al Hamasah bagus nggak sih?”
“Bagus, dik. Nama itu tepat buatmu. Artinya “Yang Bersemangat” kan? Ya, seperti kamu yang selalu bersemangat dalam mengerjakan kebaikan! Termasuk menulis!” kata Mbak Oi. “Tapi pakai nama sendiri juga bagus kok,” sambungnya lagi.
Mbak Oi hanya setahun kost bersama saya. Namun silaturahmi kami tak pernah terputus. Suatu hari dengan mata berbinar, ia datang dan memeluk saya, “Helvy, saya akan menikah….”
Saya mencium ke dua pipi, menjabat tangannya, tersenyum dengan mata kaca “Selamat ya, Mbak. Siapakah lelaki yang beruntung itu? Maukah ia menjadi abang fillah bagiku?”
“Kami berdua akan tetap menjadi saudaramu, sayang….” Kata Mbak Oi.
“Lalu siapa dia, Mbak? Siapa dia? Ayo, cerita!” saya berseru kegirangan sambil terus merangkul Mbak Oi. “Ganteng nggak?”
“Husy!” Tapi saya lihat binar yang melebihi biasa di mata Mbak Oi.
Malam itu Mbak Oi menginap di kost saya dan bercerita tentang Yudi, lelaki bijak yang berusia lebih muda darinya. Pria asal Sunda yang cerdas itu baru saja pulang ke tanah air usai menjalankan beberapa tugas di Jepang.
Tak lama Mbak Oi pun menikah, hubungan kami bertambah akrab, meski kami mulai jarang bertemu.
Suatu hari Mbak Oi dan suaminya yang saya panggil A’ Yudi mampir ke kost saya.
“Lho, kok berantakan banget, Vy?” tanya Mbak Oi.
“Aku mulai menulis lagi nih, Mbak. Ada beberapa majalah Islam yang meminta cerita bersambung,” jawab saya. “Lumayan Mbak, selain bisa menyampaikan keindahan Islam, aku juga dapat honor buat tambahan kuliah,” kata saya sambil merapikan kertas-kertas yang berserakan di ruang tamu. “Sayangnya mesin tikku rusak Mbak….”
“Aduh, kasihan sekali. Terus bagaimana?”
“Aku nggak tahu Mbak. Mungkin kutulis dengan tangan saja. Soalnya deadline-nya sudah dekat.”
“Nggak bisa pinjam teman?”
Saya menggeleng. “Susah Mbak. Mereka juga butuh untuk buat makalah.”
“Harusnya kamu memiliki komputer, Dik. Kerjamu jadi lebih efektif.”
Saya nyengir. Komputer? Uang darimana? Yaa mungkin beberapa tahun lagi. Mungkin kelak ketika saya punya suami, baru saya bisa membeli komputer.
Malam itu, usai Mbak Oi dan A’ Yudi pulang, saya ‘berkelahi’ dengan mesin tik tua saya yang tidak mau kompromi itu. Tapi tak satu pun cerita selesai. Akhirnya saya benar-benar menulis semua dengan tulisan tangan.
Tanpa saya duga, beberapa hari setelah itu, Mbak Oi dan A’ Yudi datang lagi ke kost saya. Tidak seperti biasanya, mereka membawa sesuatu dalam kardus kecil.
“Ini dari kami buat Helvy,” kata Mbak Oi.
“Ya, semoga bisa bermanfaat,” sambung A’ Yudi.
“Tapi ini apa, Mbak?” tanya saya bingung. Tidak biasanya Mbak Oi memberi saya bingkisan seperti itu. Apalagi saya tahu ia seorang yang hidup sederhana.
“Pokoknya benda ini digunakan untuk kemaslahatan ummat ya dan tidak usah dikembalikan,” ujar Mbak Oi lagi. A’ Yudi yang berada di sampingnya masih tersenyum.
Saya belum membuka bingkisan dari Mbak Oi dan A’ Yudi itu hingga mereka pulang. Namun rasa penasaran saya terus berkecamuk. Bungkusan apa dalam kardus kecil yang berat ini? Apakah…apakah…air mata saya tiba-tiba jatuh. Mungkinkah ini mesin tik baru buat saya? Ya Allah, bukankah mesin tik masih menjadi barang mahal?
Saya segera membuka bungkusan itu dengan hati berdebar. Dan airmata saya semakin berkejaran. Ya Allah: di hadapan saya kini tampak sebuah laptop buatan Jepang! Laptop! Bukan sekadar mesin tik!
Malam itu saya tak bisa tidur membayangkan wajah Mbak Oi dan A’ Yudi. Rasanya sukar sekali menghentikan pecahan-pecahan kaca yang meluncur dari mata saya…cepat dan semakin cepat. Ya Allah, betapa mulia mereka. Mereka belum dua tahun mengenal saya…. Dan siapakah saya? Saya bahkan belum benar-benar menjadi penulis, mengapa mereka mengambil resiko memberikan benda berharga ini pada saya? Bukankah mereka juga membutuhkannya? Berapa dana yang mereka keluarkan untuk ini? Sedang mereka hidup dengan sederhana?
Setelah hari itu saya merasa harus terus menulis. Malu rasanya melalui hari tanpa menulis. Apalagi laptop pemberian Mbak Oi dan A’ Yudi selalu tersedia di meja di sudut ruang tamu kost saya. Cerita “Mc Alliester” dan “Akira” saya selesaikan dengan laptop itu. Juga ratusan cerpen lain yang akhirnya dipublikasikan maupun yang hingga saat ini masih saya simpan.
Orang-orang kemudian mulai mengenal saya sebagai pengarang. Buku saya satu persatu terbit dan saya mulai mendapat beberapa penghargaan dari apa yang sudah saya lakukan. Saya bahkan sering diundang keluar negeri untuk mengisi berbagai workshop tentang penulisan.
Dan laptop itu?
Laptop itu kini telah menjadi milik ummat seperti yang diinginkan Mbak Oi dan A’ Yudi. Saat saya memiliki komputer, saya meminjamkannya kepada seorang teman yang amat membutuhkan. Ketika teman itu selesai, ia meminjamkannya pada teman yang lain, begitu seterusnya dan seterusnya. Hingga kini tak diketahui dengan pasti keberadaan laptop itu.
Tetapi satu yang saya tahu dengan pasti….
Kini setelah sepuluh tahun berlalu, saya tak pernah bisa melupakan Lolita Damayanti dan Yudi Iswahyudi yang hidup sederhana di rumah mungil mereka di bilangan Kelapa Dua Depok bersama anak-anak mereka yang lucu, yang salah satunya bernama Hamasah. Ya, mereka telah meninggalkan sesuatu yang dalam di hati saya yang rasanya tak akan pernah bisa saya ungkapkan dan saya tulis dengan sempurna. Ya, Allah, saya bahkan belum pernah menyatakan terimakasih dan cinta saya yang paling sungguh pada mereka.
Terimakasih, Mbak Oi dan A’ Yudi. Saya mencintai kalian. Saya mencintai kalian karena Allah, selamanya. Ya, selamanya….
(HTR, dari Bukan di Negeri Dongeng, Penerbit Syaamil, 2003)
Oleh: Helvy Tiana Rosa
http://helvytianarosa.com/ (one of my favourite 5 websites)
No comments:
Post a Comment